Kasus Ratna Sarumpaet dan Teknik Firehose of Falsehood

Beberapa hari ini perhatian publik Indonesia seolah-olah hanya tertuju pada kasus “penganiayaan” Ratna Sarumpaet (RS). RS dikabarkan “dianiaya” oleh orang tidak dikenal di bandara Bandung. Beramai-ramai team sukses Prabowo-Sandi menyuarakan keprihatinannya terhadap kasus ini. Pak Prabowo sendiri pun tak ketinggalan untuk ikut bersuara mengenai kasus ini. Pendukung pasangan Prabowo-Sandi pun tidak kalah hebohnya menyuarakan kemarahannya dan menuduh pemerintah berada dibalik ini semua. Seperti yg kita ketahui, kasus ini bahkan lebih menyedot perhatian dibandingkan masalah Bencana Alam yang terjadi di Palu dan Donggala akhir-akhir ini.

Belakangan diketahui kalau kasus ini adalah sebuah kebohongan atau hoax belaka. Kemudian beramai-ramai kembali para team sukses termasuk si ibu meminta maaf ke public karena sudah berbohong dan ikut menyampaikan kebohongan. Para pendukung pasangan Prabowo-Sandi pun tidak ketinggalan dengan tidak melewatkan kesempatan untuk tetap memberikan sindiran kepada pemerintah dan lawan politiknya. Intinya kebohongan bu RS tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebohongan yang sudah dilakukan oleh rezim Jokowi dan para cebongnya, sebutan bagi pendukung Jokowi. Pembelaan serupa dengan mudah kita temukan di media sosial.

Lalu apakah benar apa yg dilakukan oleh Bu RS ini semata-mata hanya karena beliau khilaf? Benarkah ini hanya sebuah kebohongan yang awalnya hanya untuk keluarganya saja namun kemudian menjadi membesar? Atau, mungkin saja ini adalah bagian dari teknik kampanye dari Prabowo-Sandi?

Sebagai politisi kawakan, agak sulit kita mempercayai kalau dengan mudahnya Prabowo dan beberapa nama politisi besar seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah dan Amien Rais bisa terjebak seperti ini. Nama-nama politisi besar ini tentu sudah malang-melintang di dunia politik. Terlebih lagi, RS sendiri tidak pernah menyatakan langsung kalau ia memang di “aniaya”. Bahkan beliau tidak pernah hadir dalam konferensi pers mengenai kasus penganiayaannya tersebut.

Baru-baru ini setelah pilpres di Amerika Serikat pada tahun 2016, terungkap sebuah teknik propaganda yang ternyata sangat efektif memenangkan Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat. Teknik ini dinamakan teknik Firehose of Falsehood.

Apa itu teknik Firehose of Falsehood?

Teknik firehose of falsehood, atau juga dapat diterjemahkan sebagai teknik semburan dusta, ini dikembangkan oleh KGB dan digunakan pertama kali oleh Vladimir Putin ketika Rusia menganeksasi Crimea. Kemudian teknik ini juga digunakan oleh Donald Trump untuk memenangkan pemilu Amerika Serikat pada tahun 2016 yang lalu.

Teknik ini adalah menggunakan kebohongan yang kentara (obvious lies) sebagai propaganda yang hebat. Memang seolah-olah tidak masuk akal, bagaimana sebuah obvious lies bisa menjadi propaganda yang hebat?

Sebuah laporan yang ditulis oleh Christopher Paul dan Miriam Matthews dari Rand Corporation dengan judul “The Russian “Firehose of Falsehood” Propaganda Model” mengulas model propaganda yang dikatakan sebagai highly effective ini. Dalam laporan ini, model propaganda obvious lies ini memiliki karakter sebagai berikut:

  1. High Volume and Multi-Channel, yang artinya butuh jangkauan yang luas dari propaganda kebohongan tersebut, sehingga dapat menjangkau banyak orang sekaligus.
  2. Rapid, Continuous and Repetitive, yang artinya harus dikeluarkan dalam jumlah yang banyak secara terus menerus dan berulangkali. Semakin banyak orang yang menyuarakan akan lebih baik. Selain itu exposure terus-terusan dan berulang-ulang seperti prinsip iklan juga merupakan karakteristik dari model propaganda ini.
  3. No Commitment to Objective Reality, dimana jika kebohongan tersebut semakin mudah dibongkar tidak masalah malah akan semakin baik.
  4. No Commitment to Consistency, dimana jika kebohongan tersebut tidak konsisten akan semakin lebih baik. Artinya, tidak masalah jika propaganda tersebut hari ini bilang A besoknya bilang B. Dengan kata lain hari ini kedelai besok tempe adalah karaktersitik dari model propaganda ini.

Dua karakteristik awal (no 1 dan no 2) tentu mudah dipahami, karena hal ini pada dasarnya adalah prinsip yang sama dengan prinsip iklan. Suatu pesan yang disampaikan secara massive dan repetitive akan mendapatkan penerimaan. Bahkan jika sebuah kebohongan diucapkan secara terus-menerus maka akan dianggap sebagai kebenaran pada suatu saat.

Namun, tentunya akan membingungkan mengenai dua karakterstik terakhir. Bagaimana mungkin sebuah kebohongan yang tidak punya komitmen terhadap kenyataan dan juga tidak konsisten bisa menjadi propaganda yang sangat efektif? Untuk memahami ini, kita perlu memahami mengenai kelompok manusia berdasarkan afiliasi politiknya dan hasil riset Genetic of Politics-nya Dr. Rose McDermott, seorang profesor international relations di Brown University.

Genetics of Politics

Manusia dalam pandangan politik dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Kelompok Konservatif beranggapan dalam masyarakat ketertiban adalah yang paling penting. Ketaatan merupakan prasyarat untuk terbentuknya masyarakat yang madani. Oleh sebab itu aturan harus sesuatu yang pasti dan tidak boleh berubah, sehingga kelompok ini lebih menyukai sebuah aturan yang lestari (conserved). Dalam realitas politik hari ini, kelompok konservatif lebih menyukai aturan agama dan tradisi, karena diyakini dibuat oleh yang lebih luhur dari manusia sehingga layak untuk di-conserved.

Kelompok kedua adalah kelompok progresif yang lebih mementingkan kebahagiaan (happiness) masyarakat dan hak-hak individu. Bagi kelompok ini, aturan itu seharusnya mengikuti perkembangan masyarakat. Karena masyarakat sifatnya bertumbuh (progress), maka aturan-aturan juga harus ikut ber-progress. Kelompok progresif memaknai agama sebagai aturan yang harus di-interpretasikan (tafsir).

Sebagai analoginya progresif dan konservatif ini dapat dilihat dalam sejarah permulaan Islam. Setelah Khalifah Ali bin Abi Thalib ra memberikan tahkim atau pemaafan terhadap Muawwiyah yang melakukan pemberontakan. Sayyidina Ali ra ketika itu dituntut untuk menegakkan aturan secara kaffah oleh kelompok Khawarij. Dalam pemahaman kelompok ini, Muawwiyah harus ditumpas (dihukum mati) karena sudah melanggar aturan Al-Quran.

Pada saat itu, kaum Khawarij mengungkapkan hujjah (argumentasi) soal kesempurnaan Al-Quran dalam tuntutan mereka. Sayyidina Ali ra menjawab dengan mengatakan tidak ada keraguan kalau Al-Quran tersebut adalah kitab sempurna, namun kesempurnaan tersebut tetap berdiri dipundak pembacanya. Dimana pembacanya adalah manusia yang tidak sempurna. Sehingga kesalahan dalam interpretasi atau memahami makna yang terkandung dalam teks Al-Quran tersebut akan tetap terjadi. Maka, melakukan penelaahan secara terus menerus adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran hakiki.

Artinya dalam hal ini, Progresif melihat proses diskursus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam membangun civil society. Sehingga tidak ada aturan yang sifatnya baku bagi kaum progresif. Karena kemanusiaan itu sendiri jauh lebih penting dari pada aturan. Sementara, kaum konservatif percaya, aturan itu harus ditegakan dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Karena, membangun civil society perlu ketertiban agar tatanan kehidupan masyarakat bisa dibangun dengan baik.

Penelitian Dr. Rose McDermott mengenai Genetic of Politics menunjukkan orang-orang konservatif dan progresif ini dapat dibedakan secara genetic. Artinya, struktur otak kedua kelompok orang-orang ini berbeda. Sehingga, progresif dan konservatif juga memiliki pola kerja otak yang berbeda. Konservatif memiliki Amygdala yg lebih tebal sementara progresif memiliki Insula yg lebih tebal. Anatomi tersebut adalah seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut:

Brain

Seperti yang dapat dilihat pada gambar diatas, Amygdala adalah bagian otak yang berada di bagian tengah depan. Penelitian-penelitan dengan menggunakan MRI Scan menunjukan jika bagian ini aktif ketika kita merasa takut. Sementara, insula yang terletak di bagian belakang dan samping diketahui berhubungan dengan rasa empati.

Aktifitas otak ini yang menjadi dasar penjelasan mengenai pola pikir orang-orang konservatif dan orang-orang progresif. Seperti diperlihatkan dalam beberapa percobaan yang dilakukan oleh Dr. McDermott. Penelitian ini melihat aktivitas otak pada kelompok orang-orang yang sudah dikategorikan sebagai Konservatif dan Progresif.

Dalam penelitiannya, Dr. McDermott memperlihatkan gambar seseorang yang sedang ditangkap oleh polisi seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini.

Arresting

Kemudian dengan menggunakan kamera cerdas, pergerakan mata para respondents diikuti. Sehingga didapatkan data pixel mana yang menjadi perhatian dari masing-masing kelompok. Uniknya, kedua kelompok menunjukkan ketertarikan yang berbeda pada gambar yang ditunjukan tersebut.

Dalam percobaan ini orang-orang konservatif akan cendrung memperhatikan badge (lencana), logo-logo pada seragam dan senjata yang menunjukkan symbol authority atau kewenangan. Hal ini menunjukkan orang-orang konservatif lebih tertarik untuk mengetahui kewenangan dari kedua polisi tersebut untuk melakukan penangkapan tersebut.

Sementara, orang-orang progresif akan melihat mata dari orang-orang yg ada di foto, terutama mata orang yang sedang ditangkap. Orang-orang progresif lebih tertarik untuk mengetahui apa yang sedang dirasakan oleh orang-orang yang ada di foto tersebut. Mereka berusaha menemukannya melalui mata. Karena mata adalah window to the soul bagi orang-orang progresif.

Dari percobaan ini kita bisa memahami, orang-orang konservatif akan lebih menyukai ketertiban (order) dan kagum pada kewenangan (authority), sementara orang-orang progresif akan lebih cenderung bergerak berdasarkan apa yang dirasakan oleh orang lain. Konservatif yang didorong oleh rasa takut menyukai karakter pemimpin yang kuat, tegas dan berwibawa. Mereka bahkan akan lebih terbuka menerima pemimpin yang otoriter, karena dengan begitu ketertiban didalam masyarakat akan dapat dicapai.

Sementara, orang-orang progresif yang didorong oleh rasa empatinya akan lebih menyukai karakteristik pemimpin yang merakyat, simpatik dan mau mendengar. Bagi kaum progresif, ide-ide kesejahteraan yang merata, masyarakat demokratis dan kebahagiaan bagi orang banyak lebih menarik. Pemimpin yang demokratis meskipun kurang tegas akan lebih mudah diterima oleh kelompok progresif. Karena pemimpin yang otoriter akan mematikan proses demokratisasi dan merampas hak-hak individu.

Teknik Firehose untuk membangun Konservativisme

Pengelompokan masyarakat sebagai konservatif ataupun progresif ini bukanlah pembagian yang binary (hanya terbatas pada angka 0 atau 1). Namun, koservatif dan progresif ini adalah dua kutub dari sebuah spectrum. Mayoritas masyarakat kebanyakan berada diantara dua kutub tersebut, dengan amygdala dan insula yang hampir sama tebalnya. Tentu saja dengan banyak variasi apakah dia lebih condong ke kutub progresif atau kutub konservatif dari spectrum tersebut.

Teknik firehose of falsehoods ini memang dirancang untuk membangun ketidakpercayaan terhadap informasi. Termasuk ketidak percayaan pada media masa mainstream. Dalam kasus Donald Trump dikenal sebagai tuduhan fake news. Dengan demikian, masyarakat akan merasa ketakutan secara terus-menerus. Sehingga, kondisi ini tentu saja akan membuat amygdala masyarakat aktif secara terus menerus pula.

Amygdala adalah bagian otak yg tergolong primitive, karena berhubungan dengan kemampuan kita bertahan (survival instinct). Ketika amygdala kita aktif, tingkat kewaspadaan kita meningkat. Semua panca indra kita akan bekerja lebih baik. Sehingga kita bisa hati-hati terhadap kemungkinan adanya predator. Maka dengan kondisi ini, kita dapat memahami jika mayoritas orang akan lebih mudah diaktifkan amygdala-nya. Sementara, dibutuhkan tingkat kecerdasan tertentu bagi sesorang agar insula-nya lebih aktif. Karena empati muncul belakangan dalam proses evolusi kita.

Propaganda Firehose of Falsehood dan Kemenangan Trump di Pilpres AS 2016

Kemenangan Donald Trump begitu mengejutkan di Pilpres Amerika Serikat pada tahun 2016 yang lalu. Padahal sebelumnya banyak yang memprediksi, Hillary Clinton akan mendapatkan kemenangan yang mudah. Terlebih lagi Trump sering sekali melakukan kesalahan dengan melontarkan data-data palsu bahkan beberapa kali ia dengan sengaja berbohong.

Anehnya lagi, Trump dengan mudah mengakui kalau ia berbohong atau telah menggunakan data yang salah. Disaat yang sama, team kampanye Trump juga melakukan propaganda bahwa teamnya Clinton dengan dibantu oleh President Obama yang satu partai dengannya juga melakukan kebohongan-kebohongan. Meskipun pada saat itu banyak politisi Partai Repubilc, partainya Donald Trump, membelot mendukung Hillary Clinton, Trump tetap memperoleh kemenangan.

Setelah semua terjadi barulah mata banyak orang terbuka mengenai model propaganda firehose of falsehood yang digunakan oleh Trump ini. Banyak kalangan akhirnya menyesali karena tidak melakukan pencegahan dari awal. Termasuk Presiden Obama sendiri.

Presiden Obama sebenarnya memiliki peluang untuk menggunakan kekuasaannya untuk mencegah model propaganda hoax yang dilakukan oleh team kampanye Trump pada waktu itu. Namun, pada waktu itu mungkin saja Obama berpikir jika cara yang dilakukan oleh Trump tersebut mustahil berhasil, karena terlalu konyol. Atau mungkin saja Obama khawatir jika Trump dan team-nya ditindak karena menyebarkan hoax akan menjadi back-fired bagi dirinya dan Hillary. Sebagai presiden dari partai berkuasa, Obama bisa dituduh memberikan keuntungan bagi Hillary yang juga dari partai Democrat.

Kemungkinan lainnya adalah, Obama ber-positif-thinking kalau di dalam Partai Republic, partainya Trump, ada banyak orang-orang berintegritas seperti John McCain, lawan tandingnya pada pilpres pertamanya di 2008. Seperti yang tercatat oleh sejarah, John McCain bisa dengan mudah mengalahkan Obama jika mau menggunakan isu Rasis pada pilpres 2008 yang lalu, misalnya isu yang santer diawal yang mengatakan kalau Barack Husein Obama adalah seorang muslim. Hal ini tidak dilakukan oleh McCain, karena McCain tidak ingin Amerika menjadi negara yang rasis.

Teknik Firehose of Falsehood di Pilpres Indonesia

Data Cambridge Analytica (CA) menunjukan, kelompok pemilih konservatif memang cenderung akan memilih Prabowo-Sandi, mereka juga punya sikap tidak suka terhadap figure Jokowi. Sementara kelompok progresif lebih favourable atau bersikap mendukung ke pemerintahan Jokowi. Sementara, karena tidak adanya data pasti yang berasal dari data MRI Scan seperti ketika Trump akan melakukan kampanye pilpres 2016 silam, bisa diasumsikan sebagian besar karakter pemilih Indonesia juga berada ditengah.

Jika benar kasus RS sebagai salah satu bagian dari teknik firehose of falsehood. Maka kasus ini jelas menyasar segmen pemilih konservatif moderat sebagai kelompok yang ditengah dari dua kutub spectrum progresif dan konservatif ini. Memicu aktivasi amygdala ini akan berfungsi utk membuat bimbang kelompok yg ada ditengah. Dimana, selain insula-nya aktif, amygdala-nya masih sedikit lebih dominan.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, konservatif menyukai pemimpin yang tegas, kuat dan berwibawa. Karakter ini sangat bisa dengan mudah ditemukan pada figur Prabowo. Sementara, karakter pemimpin yang simpatik, merakyat dan rendah hati sebagaimana yang disukai oleh kubu progresif, akan dengan mudah ditemukan pada figur Jokowi. Sehingga, aktivasi amygdala ini hanya akan menguntungkan Prabowo dalam kontestasi Pilpres kali ini.

Dalam kondisi ketakutan, kelompok yang ditengah akan bergerak menjadi lebih konservatif. Sehingga, mereka akan mencari kriteria pemimpin yang kuat, tegas dan berwibawa. Karena di dalam alam bawah sadar manusia-manusia yang ketakutan ini, pemimpin dengan kriteria itulah yang bisa menjadi solusi untuk menegakkan ketertiban dan keteraturan. Dengan kata lainnya, karakter tersebut dalam kontestasi pilpres 2019 ini hanya akan dapat ditemukan pada figur Prabowo.

Jadi, jika asumsi diawal benar, maka kasus RS ini bisa dikatakan sebagai salah satu teknik firehose yang jitu. Karena bisa dibayangkan, kasus ini bahkan mengalahkan exposure dari bencana sebesar Palu-Donggala yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari media. Publik justru lebih tertarik untuk mengikuti kasus RS ini.

Maka, tidak perlu heran setelah kasus ini terbongkar, semuanya serentak memohon maaf. Tidak kalah menariknya adalah, proses permintaan maaf ini juga disertai dengan lemparan tuduhan, kalau pemerintah juga sering berbohong. Maka tidak heran jika kita akan tetap mendengar beberapa pembelaan yang terdengarnya absurd seperti ”dibohongi oleh satu emak-emak saja sakit, apalagi dibohongi oleh satu rezim dan cebongnya” atau “emak-emak ini lebih jantan mengakui kebohongannya sementara rezim ini masih sibuk ngeles dengan kebohongannya” dan lain sebagainya.

Menganggap remeh rangkaian kejadian ini bukanlah langkah bijak bagi kubu Jokowi. Ini adalah strategi yang sangat terukur dan pernah terbukti berhasil memenangkan Donald Trump di 2016 yang lalu. Jika memang ini adalah penerapan teknik firehose of falsehood, semua pembelaan ini bertujuan menyampaikan pesan, kubu Prabowo memang melakukan kebohongan, tetapi kubu Jokowi juga melakukan kebohongan dan kubu Prabowo lebih kesatria dalam menghadapinya.

Karena pada dasarnya, pesan paling penting dari teknik propaganda firehose of falsehood ini adalah, semua orang berbohong, jadi kebenaran tidaklah penting. Yang paling penting adalah opini, dan opini mereka lah yang paling layak untuk dipercaya. Karena mereka adalah pemimpin yang lebih kuat dan berwibawa. Demikian lah kenapa era setelah kemenangan Trump ini juga sering dinamakan sebagai era post-truth atau era pasca kebenaran.

sumber:

  1. Laporan Rand Corporation mengenai Teknik Firehose of Falsehood https://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/perspectives/PE100/PE198/RAND_PE198.pdf
  2. Lecture Rose McDermott mengenai Genetic of Politic https://www.youtube.com/watch?v=THILuP582iw

 

18 Comments

  1. Wah…mantab ini artikelnya…mencerahkan dari kejadian kejadian yang ada. Ditambah jelas referensinya..makasih.

  2. Mencerahkan… Saya pribadi seorang yang aktif dalam kajian Neuro-Science. Kesimpulan akhir pada tulisan di ata…

    “Jika benar kasus RS sebagai salah satu bagian dari teknik firehose of falsehood. Maka kasus ini jelas menyasar segmen pemilih konservatif moderat sebagai kelompok yang ditengah dari dua kutub spectrum progresif dan konservatif ini. Memicu aktivasi amygdala ini akan berfungsi utk membuat bimbang kelompok yg ada ditengah. Dimana, selain insula-nya aktif, amygdala-nya masih sedikit lebih dominan.”

    Jika pernyataan ini dibuat berdasarkan apa yang terjadi di Amerika, maka kemungkinannya sangat kecil akan terjadi juga di Indonesia. Sebab secara pola dasar, masyarakat Amerika merupakan orang dengan kecenderungan otak konservatif (imanen), sementara pola dasar masyarakat Indonesia cenderung progresif (transenden).

    Tentu banyak perbedaan lainnya antara pola dasar kecenderungan otak orang Amerika dan pola dasar kecenderungan otak orang Indonesia. Nanti akan saya buatkan artikel terkait yang membahas perbedaan-perbedaan tersebut beserta tinjauannya yang berbasis pada kosmologi dan neuro-science.

    1. Wah…tambahan informasi menarik! Mudah2an nanti bisa menemukan tulisan anda. Mudah2an juga perbedaan itu membuat teknik ini gagal dipakai di Indonesia/Pilpres terdekat 2019. Terima kasih 🙏

  3. Menarik opininya. Jika benar, berarti RS rela mngorbankan dirinya kehilangan integritas, dihukum scr pidana dan lbh menyakitkan dihukum scr sosial demi kemenangan prabowo. Wow!

    Akan lbh menarik jika anda bahas polemik anti pancasila dan penolakan2 pembicara oposisi krn dianggap mengganggu keamanan. Agar bahasannya berimbang dari seorang akademisi yg netral…atau anda partisan?

Leave a comment