Menuju Revolusi Industri 4.0: The Rise of the Machine

Alan Turing 50 tahun lalu mengangkat ide mengenai kemungkinan digital komputer dapat berpikir. Alih-alih menggunakan pertanyaan langsung apakah mesin dapat berpikir, Turing memodifikasi pertanyaanya menjadi: “apakah komputer dapat dibayangkan untuk melakukan “immitation game” dengan baik? Turing meramalkan hal tersebut akan terjadi dalam 100 tahun.

Ramalan Turing tersebut terbukti tidak tepat. Karena hanya dalam 50 tahun dilakukan komputer sudah bisa melakukan immitation game tersebut, bahkan lebih baik. Perkembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligent (AI) saat ini sudah dapat benar-benar dapat melakukan hal tersebut. Machine learning (ML) algorithm menjadikan kemampuan AI ini juga berkembang secara pesat. Implikasinya, automasi semakin luas dalam penerapannya di dalam kehidupan manusia.

Masa depan merupakan tempat dimana AI mengambil alih semua jenis pekerjaan. Keputusan-keputusan bisnis yang sensitive hingga peran dokter sudah dapat dilakukan oleh robot-robot cerdas ini. Dalam waktu dekat kita akan melihat dari industri manufacturing, transportasi melalui self driving car hingga minimarket /supermarket yang dapat dijalankan secara autonomous seperti iklan amazon go berikut ini.

Sebuah penelitian di Oxford pada tahun 2013 menyebutkan 67% dari jenis pekerjaan yang kita kenal saat ini dapat digantikan oleh mesin yang dilengkapi dengan AI. Tidak ada pekerjaan yang aman dari ancaman kecerdasan buatan ini. Professor Peter Jeavons dalam presentasinya di 72nd Domus Seminar “The resistible rise of Artificial Intelligence”  di University of Oxford menerangkan mungkin akan hanya ada dua jenis pekerjaan yang benar-benar aman dari ancaman AI, hair stylist dan baby sitter.

Mengutip kata-katanya Warren G. Bennis “The factory of the future will have only two employees, a man, and a dog. The man will be there to feed the dog. The dog will be there to keep the man from touching the equipment“. Dengan kata lainnya, jutaan manusia terancam akan kehilangan pekerjaan karena digantikan oleh AI di masa depan.

Noah Hariri dalam bukunya “Homo Deus” juga sudah meramalkan, di masa depan akan ada kelompok orang yang bukan saja tidak memiliki pekerjaan (unemployment) namun juga tidak dapat dipekerjakan (unemployable) yang disebut sebagai useless class. Langkah-langkah antisipasi untuk kemungkinan ledakan angka unemployment akan sangat mendesak dilakukan di era kebangkitan AI atau yg dikenal juga dengan Revolusi Industri 4.0 ini.

Berbagai solusipun ditawarkan untuk masalah hilangnya lapangan pekerjaan yang sangat massive ini. Salah satu contohnya adalah penerapan Universal Basic Income (UBI). Dimana semua orang akan diberikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya tanpa perlu bekerja. Selain menjadi solusi terhadap hilangnya lapangan pekerjaan, UBI juga akan dapat meningkatnya kualitas hidup manusia. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasarnya, maka manusia memiliki banyak waktu untuk mengerjakan apa-apa yang menjadi minatnya. Sehingga setiap orang bisa juga menggali potensi dirinya dan berkontribusi terhadap perkembangan peradaban atau memenuhi panggilan kreatifnya.

Solusi lainnya adalah Universal Basic Support, dimana semua kebutuhan dasar manusia akan disediakan secara cuma-cuma. Dengan menggunakan teknologi, AI maka kita akan dengan mudah mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, bahkan dengan kebutuhan dasar seperti sandang dan pangan bagi setiap warga negara. AI doctor akan melayani kesehatan bagi seluruh warga negara, teknologi pertanian yang dikontrol oleh robot petani atau AI farmer akan dapat menyediakan kebutuhan pangan bagi manusia dan AI educator atau robot pendidik akan memberikan pendidikan bagi anak-anak kita dimasa depan.

Universal Basic Asset yang mempercayakan akses terhadap kecerdasan buatan ini harus dimiliki oleh semua orang. Akses data sebagai bahan bakar AI juga diberikan seluas-luasnya bagi semua orang dan diatur oleh perundang-undangan. Ada banyak ide-ide lainnya lagi untuk mengatasi permasalahan kehilangan lapangan pekerjaan akibat kebangkitan mesin-mesin cerdas pada era Revolusi Industri 4.0 ini. Namun, solusi-solusi ini tidak berarti jika negara tidak berproduksi dan memiliki pemasukan. Sehingga, tetap saja perlu dipikirkan dari mana sumber pemasukan untuk mendanai program-program tersebut.

Dalam era Revolusi Industri 4.0 ini, kita akan memasuki realm dimana manusia akan di-dictate oleh algorithm. Persaingan bukan lagi antara yang memgang kendali modal, resources dan pengetahuan saja tetapi pada efisiensi mesin-mesin pembelajar yang dikembangkan. Seperti halnya Revolusi Industri pertama pada abad ke 18 yang akhirnya membangun jurang pemisah antara negara-negara yang menguasai teknologi dengan negara-negara yang tidak, R.I 4.0 juga dikhawatirkan akan memiliki dampak yang sama.

Negara-negara berkembang (developing country) saat ini diuntungkan dengan murahnya tenaga kerja. Sehingga biaya produksi di negera-negara berkembang akan relatif lebih murah dari pada negara maju (developed country). Namun, di era AI dimana tenaga manusia nyaris tidak dibutuhkan lagi dan produktivitas akan ditentukan oleh efisiensi algorithm kecerdasan buatan. Maka, seperti halnya Revolusi Industri pertama, Revolusi Industri 4.0 ini memiliki kemungkinan akan kembali memakan korbannya. Negara-negara yang lambat beradaptasi terhadap perkembangan zaman secara otomatis akan ditinggalkan.

Selama beberapa tahun terakhir Indonesia juga berhasil menurunkan angka pengangguran hingga dikisaran 6-7%. Beberapa meyakini jika teknologi digital seperti jasa transportasi online dan e-commerce diyakini sebagai pendorong penurunan angka pengangguran secara nasional ini. Bisa dibayangkan jika industri digital di Indonesia sudah memanfaatkan AI secara masive, angka pengangguran tentu saja akan meningkat secara significant akibat layanan tersebut tidak lagi membutuhkan tenaga kerja manusia.

Revolusi Industri 4.0 ini tentunya akan memaksa Indonesia untuk berbenah. Mulai dari masalah perubahan paradigma kebijakan yang akan lebih bersahabat terhadap pengembangan AI hingga perubahan paradigma pendidikan yang mempersiapkan kompetensi sumberdaya manusia dengan pengetahuan mengenai AI dalam kurikulumnya. Berkaca dari program Denmark Frontrunner, kita juga perlu melakukan pembenahan dalam hal pengelolaan data publik dan penguatan research-research terkait dengan pengembangan AI ini. Selain itu, persiapan infrastruktur seperti jaringan komunikasi yang dapat mendukung pertumbuhan industri digital hingga ketersediaan sumber energi yang tidak terbatas melalui energi terbarukan yang ramah lingkungan adalah keharusan.

Tidak kalah pentingnya adalah kesadaran manusia-manusia Indonesia untuk mau berbuat. Niall Ferguson dalam bukunya “The Square and The Tower: Networks, Hierarchies and the Struggle for Global Power” memaparkan dalam sejarah manusia sebuah peradaban masyarakat dibangun mengikuti dua pola. Pola menara (tower) yang hierarkial, dimana mereka-mereka yang ditahbiskan sebagai pemimpin memutuskan yang terbaik bagi kelas masyarakat yang berada dibawahnya. Pola peradaban alun-alun (square), dimana semua orang berkumpul berjejaring dan bekerja sama. Pola menara jelas sudah usang untuk diterapkan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 ini. Manusia-manusia Indonesia harus mau bertemu di alun-alun (square) untuk berjejaring dan bekerja sama untuk mempersiapkan bangsanya agar tidak tergilas perkembangan zaman.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s