Sebuah film dokumenter mengenai penyediaan listrik dan bisnis tambang batu bara akhir-akhir ini menjadi perbincangan banyak orang di Indonesia. Film dokumenter yang berjudul Sexy Killers ini menarik untuk diikuti, dengan menggunakan peralatan yang juga mumpuni, film ini mengangkat masalah-masalah yang timbul dari kegiatan tambang batu bara di Indonesia demi memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Indonesia.
Singkatnya hanya dalam beberapa hari setelah diunggah ke Youtube, film ini ditonton oleh jutaan orang. Mungkin juga film ini jadi banyak ditonton karena dikait-kaitkan dengan politik dalam negri Indonesia dan ditayangkan beberapa hari sebelum Pemilu. Disisi lainnya, film dokumenter ini juga dianggap oleh sebagian orang sebagai kampanye untuk tidak memilih dalam pemilu 2019 ini. Karena dalam beberapa scene nya film ini juga mengangkat mengenai debat calon presiden yang membahas mengenai permasalahan lingkungan akibat kegiatan tambang batubara. Nah pertanyaannya sekarang, bagaimana realitas penyediaan listrik di negara kita? bagaimana perkembangan energi terbarukan saat ini?
Dilema pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat Indonesia
- Bauran Energi Nasional berdasarkan PP No 79 tahun 2014 (lihat Firdaus et al 2017)
Seperti yang kita ketahui, pemerintahan sekarang masih berorientasi menggunakan batu bara, minyak dan gas bumi dalam penyediaan sumber listrik di Indonesia. Sehingga penggunaan energi bersih masih belum terlalu significant. Padahal Indonesia adalah salah satu negara yang menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca atau greenhouse gas (GHG) emission sebesar 29% pada tahun 2030. Selain itu pada tahun 2014 diakhir masa pemerintahan SBY memerintah mengeluarkan bauran energi nasional yang menargetkan penggunaan energi baru dan terbarukan sekitar 23% pada tahun 2020.
Permasalahan utama dari rencana tersebut adalah tidak adanya langkah-langkah konkret mengenai bagaimana mencapainya. Apa saja program-program yang akan dilakukan untuk mencapai target-target tersebut. Sementara, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) pada tahun 2014 masih menunjukkan rencana pembangunan pembangkit listrik dari batu bara (PLTU) dalam jumlah yang masif. Disatu sisi mungkin ini juga bisa dipahami karena pada saat itu Presiden SBY sudah pada term terakhirnya. Mungkin saja harapannya target-target pengurangan GHG sesuai dengan janji pemerintahannya akan dititipkan kepada pemerintahan berikutnya.
Ketika memulai term-nya pemerintahan Jokowi dihadapkan pada kondisi rasio elektrifikasi nasional (sebuah rasio yang menunjukkan persentase penduduk yang memiliki akses terhadap listrik) sebesar 88% secara nasional. Artinya disini ada sekitar 35 juta manusia Indonesia yang masih belum mendapatkan akses ke sumber energi listrik. Jumlah yang cukup besar untuk era modern ini. Dari peta rasio elektrifikasi tersebut juga dapat dilihat, bahkan beberapa propinsi di Jawa masih berada di bawah 90% rasio elektrifikasinya. Artinya Jokowi dihadapkan pada dua tantangan, melakukan konversi sumber listrik ke energi bersih atau mengejar ketertinggalan dari sisi penyediaan sumber listrik tersebut. Tentu saja ini bukan pilihan yang sederhana.

Kenapa tidak sederhana? jika konsentrasi pemerintah adalah mengalihkan sumber listrik dalam negri kita ke sumber energi bersih maka peningkatan rasio elektrifikasi harus dikesampingkan terlebih dahulu. Kedua langkah tersebut akan membutuhkan anggaran dana yang tidak sedikit, sementara APBN kita masih sangat terbatas. Disisi lainnya, peta elektrifikasi tersebut juga menunjukkan ketidak-merataan akses listrik tersebut. Wilayah Indonesia timur masih belum terlayani oleh akses listrik dibandingkan wilayah barat. Peta Nightlight ini menunjukkan ketidak-merataan tersebut. Peta yang dikeluarkan oleh NOAA ini merupakan peta exposure rata-rata di wilayah tersebut selama satu tahun. Bisa kita simpulkan bahwa wilayah yang memang memiliki akses listrik yang stabil masih terpusat di Jawa saja. Sementara daerah-daerah lain nightlight exposure-nya tidak konsisten sepanjang tahun, sehingga luminosity didaerah-daerah tersebut tidak seterang Jawa. Tentu saja akan sulit bagi mereka-mereka yang tinggal diperkotaan di Jawa memahami kesulitan masyarakat yang kadang hanya mendapatkan akses listrik sekitar 6-7 jam dalam satu hari.

Sementara di era revolusi industri 4.0 segala sesuatunya akan membutuhkan internet. Mulai dari untuk pendidikan, belanja, transportasi dan juga layanan kesehatan. Bagaimana mungkin kita memacu transformasi masyarakat untuk bisa siap menghadapi Revolusi Industri 4.0 jika layanan internet belum merata diseluruh wilayah Indonesia. Lebih jauh lagi kita tentu saja tidak akan bisa memberikan pemerataan akses internet tanpa adanya listrik. Jadi dalam konteks ini Jokowi sepertinya memutuskan untuk fokus pada peningkatan rasio elektrifikasi nasional. Hal ini tergambar dari peningkatan rasio elektrifikasi nasional. Dalam empat tahun pemerintahannya, rasio elektrifikasi nasional naik menjadi 97%.

Capaian ini tentunya cukup impressive mengingat dalam empat tahun tentunya jumlah populasi Indonesia juga meningkat. Data BPS menunjukan pertumbuhan penduduk Indonesia adalah sebesar 1.2% pertahunnya. Sehingga dalam kurun waktu tersebut terdapat pertumbuhan penduduk sekitar 12 juta jiwa. Jika merujuk pada kebutuhan listrik seperti yang dikeluarkan oleh BPS sebesar 117 Watt/orang, maka pemerintah harus menyediakan peningkatan kapasitas listrik sekitar 1,500 MW extra hanya dari pertumbuhan populasi saja. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa daerah yang rasio elektrifikasinya masihh dibawah 90%. Artinya masih ada sekitar 7.5 juta masyarakat Indonesia yang belum mendapatkan akses ke listtrik.
Lalu pertanyaannnya, apakah Indonesia tidak ada rencana sama sekali untuk mengkonversi sumber energi ke energi terbarukan?
Dilema potensi energi terbarukan
Dua energi terbarukan yang saat ini menjadi primadona di negara-negara maju adalah energi angin (bayu) dan energi matahari (surya). Energi bayu malah sekarang memiliki nilai keekonomian yang lebih tinggi dari pada batu bara atau gas bumi. Nah pertanyaannya adalah apakah energi bayu ini bisa diterapkan di Indonesia. Jawabanynya bisa, tapi apakah cukup?
Berikut adalah gambaran potensi energi angin berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Bank Group, DTU, ESMAP dan Vortex. Peta ini menunjukkan rapat daya dari energi angin (wind power density). Dari peta ini kita bisa melihat kalau sebagian besar wilayah Indonesia kurang potensial untuk energi angin.

Meskipun demikian Indonesia tetap masih memiliki potensi energi angin ini. Dari sumber yang sama, jika kita melihat secara detail diwilayah Indonesia makan kita dapat melihat gambaran berikut ini.

Kementrian ESDM pada tahun 2018 yang lalu menyebut potensi energi angin Indonesia itu sekitar 978 MW~1.200 MW yang tersebar dibeberapa lokasi seperti Sukabumi (170 MW), Garut (150 MW), Lebak dan Pandeglang (masing-masing 150 MW), serta Lombok (100 MW) dan juga beberapa lokasi lain dengan potensi yang lebih kecil. Dari angka ini kita bisa melihat kalau total potensi energi angin masih belum mencukupi kebutuhan nasional yang diprediksi mencapai 115 Giga Watt pada tahun 2020 (lihat bauran energi di atas). Total potensi energi angin ini bahkan hanya sekitar 2% dari total kapasitas pembangkit PLN yang saat ini ada dikisaran 62 GW.
Meskipun demikian, potensi energi angin ini mungkin saja bisa lebih besar jika potensi angin di Offshore diperhitungkan. Sebagai negara kepulauan Indonesia bisa membangun banyak windfarm di wilayah lautnya. Hanya saja data pengukuran kecepatan angin ditengah laut masih belum lengkap. Sehingga cukup sulit mengatakan berapa besaran potensi energi angin di lepas pantai kita.
Lalu bagaimana dengan potensi energi surya? secara umum pemanfaatan energi surya bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah dengan Concentrated Thermal Solar (CTS) atau juga dikenal dengan Concentrating Solar Power (CSP) yang bekerja dengan cara pemusatan konsentrasi panas dari sinar matahari. Cara kedua adalah Solar Photovoltaic atau Solar PV. Ringkasnya, teknologi kedua (Solar PV) yang saat ini lebih banyak dikembangkan karena memiliki efisiensi yang lebih baik dibandingan CTS atau CSP.
Mesih berdasarkan peta yang dikeluarkan oleh World Bank, ESMAP dan Solargis potensi energi Surya di Indonesia masih tergolong menengah jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Dari peta ini kita bisa melihat jika potensi energi SolarPV di Indonesia hanya dikisaran 4.6 kWh/kWp atau kilowatt peak. Sementara di negara-negara lain bisa mencapai 5.5-6.4 kWh/kWP. Meskipun demikian, besaran potensi Solar PV ini cukup besar di Indonesia. Lokasi-lokasi potensial tersebar dari wilayah timur Jawa hingga ke Nusa Tenggara Timur. Dari sumber peta yang sama kita dapat melihat potensi solar PV di wilayah Indonesia.

Intermittency
Hampir semua energi terbarukan memiliki masalah terhadap intermittency, artinya energi terbarukan akan memberikan output energi yang terkadang berhenti pada saat-saat tertentu. Selain itu, besaran output energinya juga fluktuatif. Energi angin misalnya, ketika angin tidak bertiup maka produksi listrik juga tidak akan ada. Demikian juga dengan energi Photovoltaic, listrik hanya akan dihasilkan pada siang hari. Sehingga energi terbarukan ini akan membutuhkan storage atau battery untuk penympanan energi atau back-up dari sumber energi fosil pada saat-saat tertentu.
Pertanyaan berikutnya terkait energi terbarukan, apakah energi terbarukan ini tidak memiliki jejak karbon sama sekali? Pada dasarnya memang energi terbarukan ini memiliki jejak karbon yang kecil, namun bukan berarti tidak ada konflik sama sekali dengan manusia ataupun dengan lingkungan.
Konflik turbin angin dan manusia
Turbin angin pada Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) ketika beroperasi akan mengeluarkan dengungan. Bagi sebagian orang dengungan ini tentunya akan menggangggu kenyamanan. Seperti yang terjadi di negara-negara yang sudah banyak menggunakan energi angin, dengungan yang keluar dari turbin-turbin angin ini dianggap mengganggu bagi orang-orang yang tinggal berdekatan dengan turbin-turbin tersebut. Sehingga saat ini di beberapa negara Eropa, Ladang Turbin Angin atau Wind Farm dibangun dilepas pantai, sehingga jauh dari permukiman.

Pemindahan operasi wind farm ke tengah laut ini ternyata semakin membuat kerja wind farm lebih efisien. Sehingga semakin banyak wind farm dibangun di lepas pantai (offshore). Hal ini karena drag dari permukaan laut tidak sebesar drag didaratan. Sehingga kecepatan angin di wilayah offshore ini lebih besar dari pada didarat. Selain itu karena dibangun di lepas pantai konflisk dengan masyarakat akibat dengungan juga dihindari. Sehingga ukuran wind turbine saat ini semakin besar untuk dapat menghasilkan listrik yang lebih besar pula.

Ukuran turbin tersebut diperkirakan akan menjapai ketinggian menara Eiffel dan the Shard dalam beberapa tahun kedepan. Hal ini kembali menimbulkan konflik dengan masyarakat. Offshore windfarm di beberapa negara eropa sudah dipermasalahkan karena karena mengganggu kegiatan nelayan dan juga mengganggu pemandangan (visual pollution). Masyarakat yang hidup di daerah pantai merasa terganggu ketika melihat di ujung cakrawala mereka penuh dengan turbin angin.

Konflik solar PV
Energi Photovoltaic juga memiliki permasalahan dengan lingkungan. Besaran energi yang dihasilkan oleh teknologi ini bergantung luasan area exposure sinar matahari. Artinya akan dibutuhkan lahan yang sangat luas untuk membangun solar PV farm.

Sehingga bisa dibayangkan jika akan dibangun di Indonesia secara masif, ada berapa luas lahan-lahan yang harus dibuka. Karena sederhananya, tidak mungkin menggunakan lahan pertanian sebagai solar farm. Sehingga kemungkinannnya adalah lahan-lahan yang seharusnya bisa menjadi lahan hijau kemudian akan dialih fungsikan menjadi lahan untuk solar PV farm.
Hydropwer atau PLTA
Demikian juga dengan hydropower atau PLTA, permasalahan utama adalah luasnya lahan yang terkadang harus ditenggelamkan untuk menampung air yang dibendung. Penenggalaman lahan ini terkadang merusak ekosistem. Konfliknya kurang lebih akan sama dengan konflik lahan batubara seperti yang diangkat oleh film dokumenter Sexy Killers tersebut. Belum lagi PLTA ini juga sangat bergantung pada tutupan lahan didaerah hulu aliran sungai. Ketika wilayah hulu dialih fungsikan menjadi lahan pertanian dan lahan permukiman maka PLTA akan mengalami penurunan kapasitas akibat endapan sedimen.
Geothermal
Panas bumi atau Geothermal juga memiliki permasalahan yang sama selain masalah efisiensinya. Pada sistem open cycle geothermal akan mengeluarkan hydrogen sulfida, carbon dioxyde dan juga sulfur dioxyde, meskipun SO2 dari geothermal ini jumlahnya jauh lebih kecil dari yang dikeluarkan oleh pembangkit batu bara. Masalah lainnya adalah fracking, masalah ini sebenarnya adalah masalah yang juga ditemui akibat kegiatan pengeboran minyak. Fracking ini diyakini oleh para geolog sebagai penyebab gempa bumi sehingga disebut juga sebagai man made earthquake. Hal-hal seperti ini tentu juga akan dapat diangkat sebagai permasalahan lingkungan.
Energi Laut
Sebagai Indonesia adalah negara dengan sebagian besar wilayahnya adalah laut, Indonesia juga memiliki potensi besar energi laut (terutama tidal stream atau arus pasang surut, gelombang dan perbedaan temperatur laut atau ocean thermal). Data Asosiasi Energi Laut Indonesia (ASELI) menunjukan jika potensi energi laut kita mencapai 48 GW. Angka ini bisa menyediakan lebih dari setengah kapasitas energi yang diproduksi di Indonesia saat ini. Namun, sama halnya dengan sumber-sumber energi terbarukan lainnya, permasalahan utama untuk energi laut ini adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pembangunannya sehingga harga jual listrik dari sumber energi ini masih belum bisa bersaing dengan sumber energi fosil.
Dalam konteks lingkungan meskipun relatif lebih kecil dibandingkan sumber energi terbarukan lainnya, tetapi bukan berarti tidak ada. Tidal stream turbine misalnya, akan konflik dengan jalur migrasi ikan dan mamalia laut. Bahkan ocean thermal yang lebih banyak dampak positifnya karena bisa menciptakan upwelling buatan pun tetap akan ada konflik lingkungannya jika dicari.
Kita memang tidak boleh menutup mata terhadap permasalahan lingkungan. Namun dalam konteks penyediaan listrik ini tentu saja kita mau tidak mau harus melihat kondisi realitas. Cepat atau lambat Indonesia akan mengikuti perubahan yang terjadi juga di dunia, dimana energi batu bara perlahan akan ditinggalkan. Bahkan Presiden US sekarang yang jelas-jelas mengkampanyekan kebangkitan kembali batu bara tidak dapat berbuat banyak. Satu persatu bisnis pertambangan di negri paman Sam ini mulai gulung tikar. Padahal banyak kemudahan sudah diberikan oleh administrasinya.
PLTB Sidrap adalah salah satu wind farm pertama yang sudah kita lihat berdiri di tanah air. Seperti halnya yang sudah terjadi di Eropa, cepat atau lambat PLTB-PLTB yang akan dibangun ini akan berkonflik juga dengan manusia. Perlu dicatat, lokasi-lokasi potensial yang sudah diidentifikasi saat ini berada didarat. Tentu saja kita tidak perlu kaget jika suatu saat ini akan mulai ada protes dari masyarakat karena dengungan dari turbin angin tersebut kemudian dianggap mengganggu. Mudah-mudahan saja kita tidak akan melihat film dokumenter Sexy Killers untuk turbin angin ini.