Salah Paham Mengenai Reklamasi (1)

Melihat perdebatan mengenai Reklamasi, ada banyak kesalahpahaman publik mengenai Reklamasi Jakarta. Tentu saja tidak ada cara mudah untuk menjelaskan secara detail mengenai Reklamasi Jakarta. Terutama mengenai permasalahan dari sisi teknis, kebijakan dan isu lingkungan dari rencana mega-struktur ini.

Sebenarnya akan sangat menarik jika masalah ini diperdebatkan dalam tataran Ilmiah. Sehingga kita bisa melihat reklamasi Jakarta ini lebih objective. Saat ini dengan bercampurnya masalah reklamasi kedalam masalah politik, membuat banyak sekali kesalahpahaman yang terjadi. Tidak ada cara sederhana untuk penjelasan yang terinci mengenai permasalahan reklamasi, sehingga tulisan ini perlu dibagi menjadi beberapa bagian.

Bagian pertama ini adalah kesalahpahaman yang menyamakan Reklamasi Jakarta dan Giant Sea Wall (GSW). Selain itu, banyak juga yang kurang paham mengenai dasar berpikir pembangunan Giant Sea Wall (GSW) dan apa manfaatnya. Mudah-mudahan tulisan ini bisa sedikit membantu.

NCICD.jpg

Giant Sea Wall  yang merupakan Masterplan The National Capital Integrated Coastal Development (NCICD)

Reklamasi Jakarta vs Giant Sea Wall (GSW)

Kita sering berpikiran bahwa Giant Sea Wall (GSW) adalah bagian Reklamasi Jakarta atau Reklamasi Jakarta adalah bagian dari Giant Sea Wall (GSW). Ini adalah pemahaman yang keliru. Reklamasi Jakarta seperti yang sudah dibahas sebelumnya, merupakan program yang sudah di inisiasi pada era Presiden Soeharto melalui Keppres Nomor 52 Tahun 1995. Sementara Giant Sea Wall merupakan bagian dari suatu masterplan perlindungan pantai Jakarta yang dikenal sebagai The National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Program ini baru diinisiasi melalui Perpres 58/2008 yang juga merupakan bagian dari MP3EI yang menjadi program andalan Presiden SBY.  Sebenarnya baru-baru ini pemerintah berencana untuk melakukan studi mengintegrasikan Reklamasi Jakarta dan NCICD.

Gambaran berikut adalah ilustrasi mengenai perbedaan Reklamasi Jakarta dan Giant Sea Wall (GSW).

Reklamasi-Jakarta.jpgGSW.jpg

Gambar dibagian atas adalah gambar rencana Reklamasi Teluk jakarta, sementara gambar sebelah bawah adalah the Great Garuda yang merupakan bagian dari proyek Giant Sea Wall (GSW)

Selain masalah latar belakang tadi, mungkin ada beberapa point yang perlu ditekankan untuk melihat bagaimana Reklamasi Jakarta dan GSW merupakan hal yang berbeda.

Pertama: Reklamasi Jakarta adalah persoalan kebutuhan lahan. Reklamasi Teluk Jakarta tidak dimaksudkan untuk menanggulangi banjir akibat masuknya air laut pada saat pasang tertinggi (spring tide) ke wilayah darat di Jakarta atau yang dikenal oleh masyarakat dengan banjir Rob. Sementara, GSW merupakan proyek yang memang didedikasikan untuk menanggulangi permasalahan banjir Rob. Seperti yang kita ketahui, saat ini Jakarta terancam oleh banjir dari laut akibat penurunan elevasi muka tanah atau yang dikenal dengan land subsidence.

Kedua: Reklamasi Jakarta tidak direncanakan untuk menghentikan land subsidence, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pembangunan 17 pulau di Teluk Jakarta ini sekali lagi adalah untuk menambah lahan di wilayah darat Jakarta.  Sementara GSW juga diharapkan  dapat menyediakan air bersih bagi masyarakat sehingga dengan demikian akan menghentikan masyarakat mengambil air tanah. Dengan demikian, Land Subsidence dapat dihentikan.

Ketiga: Reklamasi Jakarta tidak didesain untuk membendung air laut. Desain 17 pulau reklamasi tersebut menggunakan lateral canal yang dimaksudkan untuk membuat air laut tetap bersirkulasi secara alami. Sehingga sifat coastal akan tetap terjaga pada wilayah pesisirnya. Disisi lainnya, GSW direncanakan akan membendung air laut sehingga tanpa bantuan pompa air didalam bendung GSW akan terjebak didalam kolam bendung (water basin).

Dari perbandingan tersebut, maka dengan mudah kita bisa memahami bahwa Reklamasi Jakarta dapat tetap dilaksanakan meskipun GSW dibatalkan. Demikian juga sebaliknya. Karena kedua program tersebut menangani isu yang berbeda.

Menolak dan membatalkan reklamasi memiliki konsekensi tersendiri seperti yang telah dibahas sebelumnya. Sementara, mengenai menolak atau tidaknya GSW adalah hal lain lagi. Tentu saja tidak ada cara mudah untuk menjelaskan manfaat dan kerugian dari GSW ini, terutama terkait isu-isu teknis dan Lingkungan. Dalam pro dan kontra terhadap perlu atau tidaknya GSW, ada beberapa pertanyaan yang biasanya terlontar, diantaranya adalah:

Untuk mengatasi banjir akibat masuknya air pasang (banjir Rob) apakah harus dengan Giant Sea Wall (GSW)?

Jawaban mudah untuk pertanyaan tersebut tentu saja “tidak harus” dengan GSW. Namun jawaban ini akan perlu dijelaskan lebih lanjut mengenai mana yang lebih mungkin.

Banjir ROB vs Giant Sea Wall GSW

Seperti yang sering didengung-dengungkan oleh Pemerintah, Giant Sea Wall merupakan solusi yang ditawarkan untuk mengantisipasi masuknya muka air laut pada saat pasang purnama (spring tide). GSW ini juga diklaim sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan storm surge yang juga akan mengakibatkan banjir pada wilayah darat Jakarta. Storm Surge adalah kejadian naiknya muka air akibat tekanan angin badai yang mengaibatkan muka air laut terequalisasi (equalised). Salah satu contoh kejadian storm surge adalah badai Katrina yang terjadi di daerah New Orleans, Amerika Serikat, pada 29 Agustus 2005. Akibat badai ini, hampir seluruh sisi kota New Orleans terendam oleh banjir. Kondisi ini tentu saja mungkin bukan kejadian yang akan sering terjadi di Indonesia mengingat Jakarta berada cukup jauh dari lokasi lintasan badai di Laut China Selatan. Namun dengan kondisi Land subsidence di Jakarta yang cukup tinggi ditambah dengan naiknya muka air laut (sea level rise) akibat global warming, maka ada baiknya hal ini diantisipasi.

Pengambilan air tanah secara terus-menerus diyakini sebagai penyebab utama land subsidence di Jakarta. Data penurunan elevasi tanah Jakarta memang cukup massive terutama untuk didaerah utara Jakarta. Gambaran berikut merupakan data historis mengenai penurunan elevasi muka tanah di Jakarta.

landsubsidenceJakarta.jpg

Gambaran penurunan elevasi muka tanah (land subsidence) sejak tahun 1974-2010 di wilayah Jakarta. Kondisi ini yang menyebabkan sebagian besar wilayah Jakarta saat ini berada di permukaan laut. Wilayah Utara Jakarta saat ini sudah merupakan daerah cekungan. Sehingga, ketika Pasang Purnama (Spring Tide) terjadi daerah tersebut akan terendam banjir. Kondisi tersebut akan diperparah jika pada saat yang bersamaan juga terjadi hujan dengan hydrograph yang cukup tinggi.

Dari gambar tersebut dapat dilihat tingginya penurunan tanah yang terjadi di Jakarta. Sehingga tidak salah jika kita harus khawatir kalau Jakarta suatu saat akan tenggelam jika land subsidence di Jakarta tidak segera dihentikan.

Kembali pertanyaannya, apakah harus dengan GSW? Jawabannya kembali sama, tentu saja “tidak harus”.

Phase pertama atau disebut juga sebagai Phase A dari NCICD adalah membangun tembok laut atau sea wall yang menempel pada daratan. Sea Wall pada NCICD Phase A ini sedang dibangun oleh pemerintah di sepanjang pantai Jakarta. Gambar berikut menjelaskan rencana Phase A dari masterplan NCICD.

NCICD Phase A.jpg

Gambaran mengenai proyek The National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang dibagi menjadi dua phase. Phase A dari NCICD ini merupakan solusi pertama untuk penanggulangan Banjir akibat Rob pada kawasan Jakarta. Sistem Seawall pada tahap pertama ini sebenarnya cukup untuk menanggulangi masalah banjir rob dikawasan Jakarta.

Phase A ini sebenarnya cukup untuk menanggulangi masalah banjir ROB di wilayah utara Jakarta. Namun Phase A tidak akan bisa menanggulangi masalah land subsidence. Pada akhirnya Phase A ini menjadi tidak berfungsi karena daerah daratan Jakarta akan menjadi cekungan yang dengan mudahnya tenggelam ketika hujan.

Struktur Sea Wall yang menggunakan sheetpile dipancang hingga lapisan hingga tanah keras sehingga diharapkan tidak terjadi penurunan bersamaan dengan Land Subsidence. Pemancangan pada tanah keras ini menjamin tidak adanya air yang keluar dan masuk dari daratan kelaut, demikian juga sebaliknya. Dengan sistem ini, keluar dan masuknya air dari darat kelaut diatur dengan sistem pompa (dalam gambar ditandai dengan kotak hijau dengan titik ditengahnya).

Pengambilan air di lapisan Aquiver secara besar-besaran dan terus-menerus akan menyebabkan tekanan pada tanah akan berkurang, akibat hilangnya air pada lapisan tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan tanah. Proses ini yang dikenal sebagai Land Subsidence. Kondisi ini akhirnya akan memaksa semua sistem pintu harus mempekerjakan seluruh sistem pompa yang sejatinya dipersiapkan untuk di-operasi-kan hanya ketika hujan terjadi bersamaan dengan pasang tertinggi. Land subsidence yang tidak dihentikan tentunya akan memaksa sistem pada Phase A ini untuk menambah jumlah pompa dan waktu operasi pompa. Pada akhirnya, sea wall phase A ini akan menjadi seperti GSW yang harus mengoperasikan pompanya secara terus-menerus. Kondisi ini akan semakin buruk seiring dengan fenomena naiknya muka air laut akibat pemanasan global atau yang dikenal dengan sea level rise.

Maka dengan pertimbangan ini, Phase Kedua atau Phase B diklaim sebagai solusi untuk menanggulangi permasalahan ini. Dengan dua Sea Wall, maka diharapkan ancaman banjir akibat hujan maupun akibat Rob bisa ditanggulangi secara permanen. Gambar berikut memberikan ilustrasi Phase I (Phase A) dan Phase II (Phase B) dari GSW.

Giant Sea Wall.jpgGambaran mengenai proyek The National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang dibagi menjadi dua phase. Garis abu-abu pada gambar ini adalah ilustrasi sea wall pada Phase A (Phase I). Sementara garis yang hitam adalah Giant Sea Wall (GSW) yang merupakan bagian dari masterplan NCICD Phase B (Phase II).

Terlepas dari ada atau tidaknya GSW ini, masalah land subsidence tetap harus  dihentikan. Satu-satunya cara adalah adalah menghentikan pengambilan air tanah. Artinya pemerintah harus bisa membuat masyarakat berhenti membuat sumur pompa. Maka pertanyaannya adalah, bagaimana menghentikan land subsidence?

GSW vs Penanggulangan Land Subsidence

Pengambilan air tanah adalah hal lumrah ditemui dirumah-rumah masyarakat Republik ini, termasuk di Jakarta. Sebagian besar rumah-rumah di Jakarta memiliki sumur pompa. Hal ini dikarenakan teknologi untuk membangun sumur pompa tersebut murah dan mudah sekali dibangun. Maka tidak heran pengambilan air tanah yang massive akan terus terjadi dan membuat land subsidence di Jakarta terjadi semakin cepat.

Satu-satunya cara untuk menghentikan land subsidence adalah membuat masyarakat berhenti menggunakan sumur pompa. Lalu bagaimana membuat masyarakat berhenti menggunakan sumur pompa?

Membuat masyarakat berhenti untuk menyedot air tanah juga bukanlah perkara yang mudah. Selain murah dan teknologinya sederhana, pemasangan pompa dirumah ini juga dengan mudah disembunyikan. Sehingga butuh usaha extra bagi pemerintah untuk mengendalikannya. Bisa dibayangkan, jika solusi yang ditawarkan hanya sebatas melakukan pelarangan. Bagaimana pemerintah menerapkannya? Apakah pemerintah harus memeriksa rumah warganya yang dicurigai menggunakan pompa untuk menghentikan pengambilan air tanah. Apakah pemerintah harus menggeledah setiap rumah dan setiap sudut ruangannya untuk memeriksa ada sumur pompa atau tidak?

Di sisi lainnya, masyarakat saat ini tidak punya pilihan lain karena air PDAM yang mahal dan juga terbatas. Air baku Jakarta masih belum dapat mencukupi kebutuhan air bersih bagi masyarakat Jakarta. Pertumbuhan penduduk dikawasan ini tentu saja akan memperburuk kondisi ini di masa yang akan datang. Mengharapkan supply air bersih dari daerah-daerah sekitar di Jawa Barat dan Banten tentu saja tidak akan mudah. Karena daerah-daerah tersebut juga memiliki kebutuhan air baku untuk masyarakatnya dan pertanian di kawasan tersebut.

Maka, jika pemerintah tidak bisa memberikan solusi untuk memenuhi kebutuhan air baku masyarakat, mustahil dapat menghentikan pengambilan air tanah di Jakarta. Karena masyarakat tidak punya pilihan lain. Sehingga Land Subsidence bisa dipastikan akan terus terjadi.

Dalam rancangannya, GSW atau NCICD phase B ini juga dimaksudkan untuk penyediaan air baku. Setelah memompa air laut yang berada didalam water basin GSW keluar diharapkan air tersebut nantinya akan menjadi air tawar. Gambaran berikut menunjukkan pola penampungan air baku (air tawar) dari sungai-sungai di Jakarta ke water basin.

Water Basin.png

Water basin yang ada dibagian dalam bendung Giant Sea Wall (outer sea wall) direncanakan akan menjadi sumber air bersih bagi warga Jakarta.

Sumber: dokmen masterplan NCICD tahun 2014 yang dapat diakses di http://en.ncicd.com/wp-content/uploads/2013/08/Draft-Masterplan-NCICD-LR.pdf

Sehingga dengan demikian air tersebut dapat digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat Jakarta. Dengan tersedianya air bersih yang berlimpah dan tentunya dengan harga yang terjangkau, maka dengan sendirinya masyarakat akan berhenti menggunakan air tanah. Akan lebih baik lagi jika kualitas air bersih tersebut sangat baik. Maka secara otomatis masyarakat akan beralih menggunakan air yang disediakan oleh pemerintah melalui PDAM.

Harus diakui selain menawarkan solusi, GSW juga dapat mendatangkan masalah. Selain masalah kerusakan ekosistem di Teluk Jakarta, masalah yang dikhawatirkan akan timbul dari GSW ini adalah Stagnant Water dan mahalnya pendanaan untuk pembangunan dan operasi GSW ini serta resiko dari kegagalan pembangunan GSW ini.

Giant Sea Wall (GSW) vs Stagnant Water

Stagnant water atau air yang diam karena tidak mengalir sangat dikhawatirkan karena akan membuat perairan menjadi beracun (toxic). Stagnant Water adalah salah satu dampak yang dikhawatirkan dari GSW. Pembendungan air laut dengan GSW ini akan membuat terjadinya stagnant water pada water basin.

Pada air yang mengalir di alam, di sungai maupun di laut, proses purifikasi atau pemurnian dari toxic terjadi dalam proses mengalirnya air tersebut. Sementara pada stagnant water, proses ini terjadi sebaliknya, air yang bersih bisa menjadi toxic atau beracun. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, water basin dalam GSW merupakan sebuah sistem polder besar yang menampung air yang juga dimaksudkan sebagai sumber air baku bagi warga Jakarta di masa yang akan datang. Namun, bagaimana GSW bisa membuat air tersebut tetap bersirkulasi sehingga tidak terjadi stagnant water? Jawaban paling mudah adalah dengan pompa, pemompaan air didalam bendung harus dilakukan terus menerus sehingga air didalam kolam bendung akan terus menerus bersirkulasi. Proses ini disebut juga dengan artificial circulation.

Selain itu, ketika air didalam polder GSW menjadi sumber air bersih, pengambilan secara terus menerus untuk kebutuhan air bersih warga Jakarta juga merupakan salah satu bentuk artificial circulation. Semakin besar pengambilan air dari dalam polder tersebut, maka semakin baik pula proses sirkulasi tersebut terjadi.

Kekhawatiran lainnya adalah mahalnya operasi GSW. Setelah GSW dibangun, maka secara terus menerus pompa harus dioperasikan. Pengoperasian pompa akan membutuhkan listrik yang artinya ada cost untuk menjaga air didalam kolam tetap pada level yang diinginkan dan juga tetap bersirkulasi. Kekhawatiran ini tentu saja tidak akan mudah dijawab, perlu studi mendalam mengenai ini.

Giant Sea Wall (GSW) vs Pola Operasi yang Mahal

Untuk pendanaan pembangunan dan pengelolaan GSW, saat ini idenya adalah dengan menggunakan pola kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Pola ini dikenal juga dengan pola PPP Scheme (public private partnership). PPP scheme ini direncanakan akan diterapkan  untuk pendanaan konstruksinya dan juga operasinya. Pada konsep NCICD Phase B ini juga dibangun property yang hasil penjualannya bisa digunakan untuk menutupi biaya pembangunan GSW beserta infrastruktur pendukungnya. Sementara pemerintah juga masih berhitung untuk potensi penerimaan (revenue) dari GSW ini untuk membiayai operasinya.

Mudah untuk membayangkan pendanaan biaya pembangunan atau Capital Expenditure (CAPEX) dari penjualan property, namun agak sulit membayangkan bagaimana keseluruhan sistem dari GSW dengan operasi pompanya yang mahal dibiayai oleh revenue-nya. Jika hanya mengandalkan penjualan air, berapa harga air harus dijual untuk menutupi operasi pompa di GSW? Tentu saja Pemerintah perlu menjelaskan secara detail mengenai ini ke publik. Namun, jika secara kalkulasi pembangunan GSW dan pola operasi ini layak, termasuk untuk operasinya, maka GSW sebagai solusi permasalahan land subsidence dapat dipertimbangkan. Karena perputaran ekonomi juga terjadi dengan pengoperasian pompa. Tentu saja langkah ini perlu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian karena resiko untuk infrastruktur sebesar ini juga akan besar.

Hal lain yang perlu dikhawatirkan dari GSW adalah resiko kegagalannya. Baik resiko kegagalan yang bisa berujung pada bencana jika terjadi kegagalan secara teknis maupun kegagalan dari sisi pendanaan.

Giant Sea Wall (GSW) vs Resiko Kegagalan

Kegagalan secara teknis bisa dimitigasi dan juga bisa diminimalisir dengan kontrol yang ketat terhadap kualitas pekerjaan, baik dari material maupun dari pelaksanaan. Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah resiko kegagalan dari sisi pendanaan. Karena hal ini akan beresiko  menjadi proyek mangkrak nantinya. Jika ini terjadi, kita akan memiliki candi raksasa yang berpotensi bencana akibat stagnant water.

Jika melihat kondisi tersebut, maka proyek ini masih perlu kajian yang lebih mendalam lagi sebelum diputuskan layak untuk di laksanakan. Keterlibatan para ahli dari berbagai bidang diperlukan untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Permasalahan yang sering terjadi di Republik ini adalah kurang keterlibatan akademisi untuk permasalahan pembangunan infrastruktur. Di negara-negara maju, jika pemerintah akan melaksanakan sebuah proyek yang akan berdampak besar seperti ini, maka secara bersamaan juga akan digelontorkan dana riset dibidang ini. Akademisi akan berlomba-lomba untuk mempublikasikan hasil penelitiannya terkait isu ini. Sehingga, perdebatan mengenai pro dan kontra bisa kita lihat dalam tataran ilmiah. Pemerintah bisa mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan manfaat dan kerugian dari pembangunan infrastruktur tersebut berdasarkan pertimbangan ilmiah  dari publikasi yang ada.

Tentang kesalahpahaman mengenai Reklamasi  Jakarta dan Giant Sea Wall (GSW)

Kembali kemasalah salah paham terhadap perbedaan antara Reklamasi Jakarta dan GSW, sering sekali kita menemukan alasan yang tidak tepat ketika kita bersikap mendukung ataupun menolak Reklamasi Jakarta. Sering sekali juga kita melihat penjelasan ilmiah mengenai penolakan yang sebenarnya lebih tepat ditujukan untuk menolak GSW. Misalnya mahalnya biaya operasi pompa dan permasalahan stagnant water yang digunakan untuk menolak reklamasi, padahal hal tersebut adalah konsekuensi dari GSW bukan Reklamasi Jakarta. Demikian juga sebaliknya, akan sama tidak tepatnya dengan menggunakan permasalahan pengendalian land subsidence untuk mendukung pelaksanaan Reklamasi Jakarta.

Next..

Benarkah jika menentang Reklamasi Teluk Benoa maka seharusnya juga akan menentang Reklamasi Teluk Jakarta?

1 Comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s