Mengajak Tuhan Berpolitik

Agama merupakan komoditas yang selalu diperdagangkan dalam politik kekuasaan. Hal ini umum ditemukan dalam banyak peradaban. Sejarah mencatat poltik dan agama merupakan hal yang sulit dipisahkan. Hal ini tetap terjadi hingga era modern.

Surah Almaidah ayat 51 yang akhir-akhir ramai dibicarakan juga merupakan salah satu implementasi bagaimana agama dijadikan komoditas dalam perebutan kekuasaan. Kata Auliya dalam ayat ini oleh sebagian orang harus dipaksakan untuk diartikan sebagai pemimpin. Padahal sejatinya ayat ini menggunakan kata Auliya (أولياء) yang merupakan bentuk jamak dari wali (ولي) maknanya adalah “yang dekat“. Sementara, Bahasa Arab memiliki padanan kata tersendiri untuk pemimpin seperti  imām (إمام‎‎) atau dalam bentuk plural immahأئمة ) yang jelas-jelas artinya adalah pemimpin (leader), atau kata lain yang lebih mendekati seperti Amir (أمير‎‎) yang artinya adalah seseorang yang memberi perintah (the one who give the order).

Sementara kata Auliya juga agak sulit untuk diarahkan artinya menjadi pemimpin dalam konteks bahasa Arab modern. Kata Auliya dalam konteks ini memiliki beberapa arti diantaranya adalah; Sekutu (Allies), Pelindung (Guardian), teman dekat (dalam konteks sebagai sekutu). Sehingga tidak heran, dalam banyak terjemahan Al-quran diseluruh dunia, rata-rata menerjemahkannya sebagai “Teman Kepercayaan” atau “Sekutu”. Mungkin hanya di Indonesia-lah kita dapat menemukan kata Auliya dalam surat Almaidah:51 ini  diterjemahkan sebagai Pemimpin.

Jika dicari penyebabnya, salah satu kemungkinan terjemahannya dengan mudah diarahkan ke pemimpin adalah karena kata walayah (وِلاية) yang dapat diartikan sebagai kekuasaan (authority or guardianship) merupakan turunan dari kata Wali. Bahasa Arab memiliki keunikan dari bahasa lain, dalam bahasa Arab dikenal kata yang berupakan bentuk dasar dan bentuk turunan. Bentuk dasar biasanya cenderung pendek hanya terdiri dari satu atau dua kosa kata, sementara kata turunan akan terdiri dari beberapa huruf atau kosa kata. Jika dikembalikan dalam kajian Etymology, Walayah memang adalah bentuk turunan dari Wali. Namun apakah selalu bentuk turunan mempengaruhi bentuk dasar?

Kalau diuji dalam pola turunan bentuk dasar lainnya seperti Jinn ( الجن‎‎, al-jinn) merupakan bentuk dasar yang artinya “tersembunyi”(hidden). Turunan dari kata jin ini adalah Majnun (gila), Jannah (surga) dan Janin (jabang bayi). Majnun bisa diartikan “ia yang akalnya tersembunyi“, Jannah bisa diartikan “tersembunyi di balik bayang-bayang” atau “tempat yang teduh” dan Janin bisa diartikan sebagai “yang tersembunyi dibalik rahim”. Secara makna, ketiga kata tersebut bisa dikatakan berkaitan dengan makna tersembunyi (hidden) namun secara konteks ketiga kata tersebut sangat jauh berbeda. Hal yang sama terhadap konteksnya kata wali atau aulia dengan turunannya dalam kata walayah. Meskipun punya keterkaitan, dalam konteks penggunaan bisa sangat jauh berbeda.

Selain itu, surah ini jika diuji dari asbabun nuzul-nya (latar belakang turunnya ayat) konteks surat ini turun adalah dalam konteks perang. Ayat ini turun ketika ada beberapa dikalangan sahabat terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan kaum Yahudi dari Bani Qainuqa, atau dalam bahasa sekarang kita kenal sebagai persekutuan perang atau aliansi (Alliance). Ayat ini turunkan untuk mengingatkan bahwa sebaiknya kaum muslimin mempercayakan keselamatan mereka hanya semata pada Allah SWT, bukan pada kaum lain meskipun kaum tersebut tidak bermusuhan dengan mereka. Dengan demikian, Auliya dalam ayat ini lebih tepat diartikan sebagai sekutu (allies).

Mengenai menggunakan Alquran sebagai komoditas politik, Rasulullah SAW pernah mengingatkan kita mengenai ulama su’ atau ulama jahat. Rasulullah bersabda “Satu zaman  akan datang kepada kaumku, bila tidak ada yang tinggal dari Islam melainkan namanya dan dari Al-Quran melainkan kata-katanya, mesjid-mesjid mereka bagus-bagus dan ramai tetapi kosong dari petunjuk. Ulama mereka seburuk-buruk makhluk di kolong langit, dari mulut mereka keluar fitnah-fitnah yang akan kembali kepada mereka” (HR Imam Baihaqi, Syu’ubul Iman, 4/424). Ulama ini disebut juga sebagai Ulama su’ yang punya kecenderungan untuk menggunakan agama dengan cara-cara yang buruk demi mencapai tujuannya.

Lalu bagaimana kita bisa mengenali Ulama Su’, Ironisnya peristiwa politik adalah salah satu cara yang baik untuk melihat hal tersebut. Dalam era sekarang, kita dengan mudah melihat Ulama yang rajin muncul di perhelatan politik seperti Pilkada. Pernyataan-pernyataannya juga dengan mudah kita uji dan teliti. Ulama mana yang punya kecenderungan melontarkan fitnah dan kebohongan. Bagaimana kita mengetahui hal tersebut Fitnah? satu-satunya cara adalah dengan ilmu. Teknologi membantu kita untuk menelusuri semua pernyataan yang menjadi polemik. Kita juga bisa tanya nalar kita mengenai ini.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya ulumuddin menjabarkan bagaimana ciri-ciri Ulama su’. Pertama adalah ulama su’ menjadikan keulamaannya untuk mengejar harta dan popularitas. Padahal, dalam ajaran Islam kita dianjurkan untuk hidup sederhana dan Ulama seharusnya mensucikan diri dari keinginan duniawi atau hidup zuhud. Nabi mencontohkan hal ini dengan terus menerus membelanjakan hartanya untuk menolong orang lain dan semua orang mengetahui dari mana beliau SAW mendapatkan harta tersebut. Sementara Ulama su’ punya kecenderungan hidup dalam kemewahan. Islam mengajarkan bahwa dalam seorang yang berharta ia akan ditanyakan dua perkara, dari mana hartanya ia dapatkan dan kemana harta tersebut dibelanjakan. Seorang Ulama yang hidup dalam kemewahan harus dapat mempertanggung jawabkan dari mana hartanya dan untuk apa ia belanjakan. Artinya seorang ulama harus transparan mengenai keuangannya.

Ciri lainnya menurut Al-Ghazali adalah Ulama su’ mudah sekali mengeluarkan fatwa bahkan mengobralnya. Ulama haq akan sangat hati-hati dalam berfatwa ia tidak akan mengumbar fatwa. Sementara Ulama su’ akan mengobralkannya demi kepentingan kekuasaan ataupun harta. Ulama su’ akan mudah merubah fatwa nya karena fatwa tersebut bergantung pada kepentingan nya saat itu.

Mengajak Tuhan berpolitik demi kekayaan dan kekuasaan merupakan perilaku Ulama su’. Sebagai umat kita tetap harus bertanggung jawab terhadap apapun yang kita percaya, termasuk ketika kita mengikuti Ulama. Kita harus bertanya terhadap nurani (qalb) kita, apakah yang kita ikuti adalah Ulama yang haq atau Ulama su’. Karena menurut Rasulullah SAW,  sebaik-baiknya fatwa adalah tanyakan pada qalb mu. Untuk itu selain membersihkan hati kita juga perlu memahami ilmunya dari sumber utamanya. Maka tidak heran ayat pertama dalam Alquran adalah Iqra! atau bacalah.

1 Comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s