Kampanye Hoax di Era Big Data

Corey Lewandowski, manajer kampanyenya Donald Trump dalam pilpres AS 2016 yang lalu, berbicara di forum yang diadakan oleh Oxford Union, sebuah club diskusi dan debat di University of Oxford. Pada saat itu salah satu audiens bertanya pada Lewandowski; “bagaimana anda bisa memiliki harga diri serendah ini untuk  berdiri di sini dan membela sesorang yang tidak hanya bigot tapi juga seorang pembohong yang tidak punya kehormatan untuk diikuti?”. Lewandowski menjawab dengan santainya, “Terimakasih, berita baiknya saya tidak harus berdiri untuk melakukannya, karena saya sekarang sedang duduk”.

Memang agak sulit kita terima, bagaimana seseorang bisa dengan cukup percaya diri dan menemukan justifikasi untuk sebuah tindakan yang memanfaatkan ketakutan dan kebencian untuk berkuasa. Tentu kita akan bertanya, bagaimana ia bisa berdamai dengan perasaannya sendiri. Namun, kemenangan memang jauh lebih manis dan tidak ada yang peduli pada pecundang. Terlebih lagi, Lewandowsky adalah pribadi tidak jauh berbeda dengan Trump.

False and misleading Claims

Seperti yang tuturkan oleh Lewandowski, salah satu kunci kesuksesannya dalam memenangkan Trump adalah dengan memanfaatkan pernyataan-pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh Trump. Pernyataan kontroversial di sini adalah dengan cara melontarkan kebohongan atau yang lebih dikenal sebagai false and misleading claim. Melalui cara ini mereka mendapatkan perhatian lebih dari publik AS dari dilakukannya pengecekan terhadap fakta (fact checking).

False and misleading claims yang dilontarkan oleh Trump tersebut kemudian menjadi trending topic di twitter, menjadi bahan diskusi dan perdebatan di dinding-dinding facebook netizen AS. Kritikan bertubi-tubi kemudian datang dari pihak yang kontra terhadap Trump tentu saja juga akan dibahas oleh pendukungnya dalam rangka melakukan pembelaan. Media-media mainstream kemudian menanti kampanye Trump berikutnya. Hanya karena mereka tidak mau ketinggalan ketika Trump menyampaikan false and misleading claims berikutnya.

Dengan liputan media yang luar biasa, dukungan dari kaum konservatif AS pun meluas. Kampanye Trump awalnya hanya dihadiri oleh simpatisannya yang cukup dalam satu ruangan kecil. Setelah satu false claim ke false claim berikutnya, jumlah yang datang semakin banyak hingga pada akhirnya mereka harus menyewa satu stadion. Dengan perhatian yang sangat luas, jangkauan pesan yang bisa disampaikan oleh Trump menjadi semakin meluas.

Dengan demikian, apapun yang disampaikan oleh Trump, kemungkinan besar akan didengar oleh seluruh masyarakat AS, baik itu yang pro mau pun yang kontra terhadap Trump. Pada saat yang sama, Trump juga menyerang lawan-lawan politiknya dengan pola misleading dan false claim juga. Salah satu targetnya adalah membangun ketidakpercayaan terhadap kebenaran objektif, atau dengan kata lainnya adalah kepercayaan terhadap data.

Isolated Cases dan Ke[tidak]percayaan Terhadap Data

Ketika Trump ditunjukkan fact checking dari pernyataannya, maka ia akan segera mengakuinya dan juga meminta maaf. Namun, yang perlu dingat, bagian terpenting dari strateginya ini adalah melakukan tuduhan kalau Hillary Clinton juga berbohong pada saat yang sama. Hal ini juga ia lakukan dengan memanggil Hillary sebagai Crooked Hilary atau Hillary yang tidak jujur. Panggilan ini masih ia gunakan hingga sekarang dalam memanggil Hillary.

Dengan hilangnya percayaan sebagian masyarakat terhadap data, maka berikutnya yang Trump dan teamnya mempersuasi mereka melalui opini. Dalam kampanyenya, mereka membuat sebuah pengaburan antara data dan opini. Kemudian mengarahkan kelompok yang masih bimbang dengan pilihannya untuk meyakini jika opini merekalah yang paling benar.

Dalam kampanyenya, Trump kerap menggunakan isolated cases, dimana ia menceritakan satu kasus yang tidak dapat atau sulit diverifikasi kebenarannya dan digunakan untuk menunjukkan kegagalan suatu kebijakan. Salah satu yang digunakan oleh Lewandowsky dalam diskusinya adalah kisah seorang perempuan di Maryland yang merupakan pengungsi, kemudia perempuan tersebut menikahi lelaki kulit putih dan berhasil membuat lelaki tersebut convert menjadi muslim. Lelaki tersebut kemudian melakukan pembantaian dan menewaskan sekitar 17 orang warga Amerika yang tidak berdosa.

Kasus-kasus terisolasi seperti ini yang akhirnya digunakan menggantikan fakta atau kebenaran objektif untuk menolak menerima pengungsi muslim dari Syria, salah satu materi kampanya Trump melawan Hillary. Fakta kebenaran seperti jumlah data pengungsi yang melakukan pembunuhan yang tersamarkan dengan kasus pembunuhan oleh kelompok jihadis yang memang lahir dan besar di AS. Dalam masa kampanye, sulit memverifikasi apakah perempuan tersebut yang mempersuasi suaminya untuk melakukan pembunuhan atau karena suaminya tersebut mengikuti kelompok-kelompok radikal yang sudah ada di Maryland tersebut.

Artikulasi Kebohongan dengan Big Data

Salah satu kekuatan propaganda Trump adalah sosial media. Cambridge Analytica (CA), perusahaan yang bergerak dibidang konsultan politik, diyakini memiliki andil besar dalam kampanye Trump. Dengan menggunakan social media, CA mengartikulasi kebohongan berdasarkan karakter tiap penduduk AS.

CA menggunakan data-data psikometri untuk mengamplifikasi rasa takut setiap penggunanya. Pendataan profil setiap orang sebelumnya dilakukan berdasarkan sample pemilih yang dianggap mewakili setiap karakter masyarakat. Data-data psikometri berupa, anxiety (tingkat kecemasan), anger (tingkat amarah), altruism (rasa empati), immagination (imajinasi) dan lain sebagainya digunakan untuk menentukan narrative seperti apa yang paling efisien bagi setiap akun media sosial tersebut.

Dengan data-data psikometri yang sudah trukur, CA pun memilah profil setiap warga AS melaui akun-akun media sosialnya. Kecerdasan buatan mereka gunakan untuk crawling di media-media sosial dan melakukan analisa psikologi terhadap tiap akun-akun tersebut berdasarkan data psikometri dari sample respondents yang sudah dikumpulkan sebelumnya. Dengan menggunakan fitur personalisasi iklan yang ada di sosial media kemudian berita-berita bohong (hoax) pun disebarkan.

Alhasil, berita-berita hoax tersebut akan lebih mudah tersebar. Dalam pilpres AS 2016 yang lalu, pihak Hillary harus menghabiskan banyak resources mereka untuk membantah atau meluruskan semua hoax yang ditujukan kepadanya termasuk yang juga ditujukan kepada Presiden Obama. Sebagai kandidat dari partai petahana, pihak Hillary juga mau tidak mau juga harus menangkis hoax yang diajukan oleh pihak Trump terhadap pemerintah.

Setelah skandal CA ini terkuak, mereka menyatakan dirinya bangkrut. Namun orang-orang CA ini masih aktif hingga sekarang. Salah satunya, beberapa dari mereka mendirikan perusahaan yang dinamakan Emerdata. Salah satu yang perlu diwaspadai adalah, sebelum dinyatakan bangkrut, CA telah melakukan profiling terhadap penduduk di 32 negara yang akan pemilu dari kurun waktu 2018-2020, tentu saja Indonesia termasuk dalam salah satu diantaranya.

Lateral Orbitofrontal Cortex (LOFC) yang Rusak di Bilik Suara

Sebuah joint research yang dilakukan oleh the Montreal Neurological Institute dan the Centre for the Study of Democratic Citizenship, keduanya berada di McGill University, menunjukkan bagian otak yang akan aktif ketika melakukan pemilihan adalah Lateral Orbitofrontal Cortex (LOFC) seperti yang ditunjukkan oleh gambar dibawah ini.

MRI_of_orbitofrontal_cortex

Aproximasi posisi Orbitofrontal Cortex berdasarkan data MRI Scan (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Orbitofrontal_cortex)

Mekanisme kerja LOFC setiap individu harus berfungsi secara baik agar voters dapat menentukan pilihan dengan bijak. LOFC yang rusak memiliki kecenderungan seseorang akan melakukan pilihan dengan pertimbangan yang paling sederhana. Dalam studi tersebut, masyarakat akan lebih menentukan pilihan mereka berdasarkan appearence atau penampilan candidate.

Dengan masifnya berita hoax, banyak masyarakat akan mengabaikan semua informasi yang tersedia. Dengan minimnya informasi yang dipegang oleh para pemilih ini, LOFC yang rusak ini akan membuat pemilih kehilangan objektivitasnya dalam didalam bilik suara. Targetnya akhirnya adalah, pemilih akan melakukan over-simplifikasi dengan memilih hanya berdasarkan informasi terbatas dan kerkadang tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

Hoax dan Kapitalisasi Kebencian

Setelah meraih kemenangan, Trump masih meneruskan model false claim ini dalam administrasinya. Washingtonpost sampai menghitung berapa jumlah false claim yang dibuat oleh Trump. Dalam seratus hari pertama, menurut catatan Washingtonpost ada sekitar 492 false claim yang telah dibuat oleh Trump. Kemudian hingga September 2018 saja, Washingtonpost mencatat setidaknya lebih dari 5000 false claim telah dibuat oleh Trump dan administrasinya. Bahkan false claim tersebut berulang-ulang disampaikan oleh Trump.

Dengan exploitasi ketakutan melalui hoax pada akhirnya juga akan menimbulkan kebencian terhadap kelompok yang berbeda atau kelompok minoritas. Sejak ia terpilih, kelompok-kelompok racist seperti white nationalist seolah-olah mempunyai legitimasi untuk mengartikulasikan kebencian bahkan melakukan tindakan-tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Terlepas dari ‘claim’ Trump terhadap kemajuan ekonomi AS, kehidupan bermasyarakat di era pemerintahan Trump berada dititik terendahnya. Make-America-Great-Again nya Trump lebih bernuansa Make-White-America-Great-Again.

Jurang pemisah antara kelompok progresif dan konservatif menjadi semakin membesar. Setiap kelompok saling mencurigai satu sama lain. Prasangka menguasai kedua belah pihak. Progresif memandang kaum konservatif sebagai kaum yang bodoh dan keras kepala, selalu ketakutan terhadap ide-ide baru. Sebaliknya, konservatif memandang kaum progresif sebagai kaum yang licik dan suka menggunakan kepintarannya untuk memanipulasi dan tidak bisa menghargai nilai-nilai tradisi. Padahal sebagai sebuah spektrum, tidak ada pemisah yang jelas antara konservatif dan progresif.

Satu masyarakat tidak akan bisa survive tanpa salah satu kelompok. Tidak mungkin suatu masyarakat akan mampu bertahan jika hanya terdiri dari kelompok konservatif saja, demikian juga sebaliknya. Suatu masyarakat yang terdiri dari kelompok progresif akan kehilangan kewaspadaannya. Pada dasarnya, orang-orang dengan kecenderungan psychopath ataupun sociopath akan selalu ada di suatu masyarakat. Sisi konservatif lah yang akan menyelamatkan suatu masyarakat dari ancaman ini.

Sebaliknya, masyarakat yang hanya terdiri dari kelompok konservatif saja akan kehilangan empati. Kecurigaan terhadap satu sama lainnya membuat masyarakat ini kehilangan kemampuanya untuk bekerja sama. Homosapiens menjadi spesies yang paling sukses di muka bumi, dan kesuksesan itu bukanlah karena kecerdasannya. Jika alasannya adalah kecerdasan, Homo Neanderthal lebih cerdas dari dari Sapiens. Homosapiens sukses karena kita makhluk yang dapat bekerjasama dalam jumlah besar (cooperate in large number).

Menjaga Kewarasan Kita

Sejatinya, pesta demokrasi adalah kegembiraan. Pilpres dan Pileg yang sedang kita hadapi ini adalah kontestasi gagasan dan ide, bagaimana membangun Indonesia menjadi lebih baik. Meskipun tidak selalu ideal, tetapi exploitasi kebencian akan membawa suatu bangsa ke jurang kehancuran. Demokrasi adalah jalan terbaik yang kita miliki saat ini dalam bernegara. Meskpun perlu diakui, Demokrasi memiliki banyak sekali kelemahan. Terutama di era big data yang mampu membajak pikiran dan kesadaran kita.

Seperti yang dikemukakan oleh Yuval Noah Hariri dalam buku terakhirnya” 21 Lesson for the 21st Century”, demokrasi adalah mengenai apa yang dirasakan oleh manusia, bukan berdasarkan alasan logis. Artinya, konsekuensi dari demokrasi adalah setiap orang akan punya kecenderungan memilih berdasarkan kondisi emosionalnya. Ketika ia takut dan marah karena suatu berita hoax, maka ia akan memilih berdasarkan kemarahannya tersebut.

Maka, penting untuk menjaga kewarasan kita dalam era big data. Bagaimana kita bisa memilah mana yang fakta mana yang opini. Bagaiamana kita memperlakukan suatu data-data statistik atau data-data berdasarkan isolated cases atau kisah-kisah yang tidak dapat diverifikasi.

Kewarasan sengat penting untuk kita menentukan mana yang lebih bisa kita percayai sebagai fakta.  Untuk menggambarkan stabilitas harga dinegara ini misalnya, data tingkat inflasi yang hanya berkisar diangka 2.8% pada bulan September 2018 seperti yang dikeluarkan oleh Bank Central kita, atau ceritera mengenai “seorang ibu-ibu di suatu kota yang harus cek-cok dengan suaminya karena dengan uang 100 ribu rupiah hanya bisa membeli bawang dan cabai saja” yang kita percayai.

Hanya dengan kewarasan juga kita bisa menentukan mana yang fakta diantara data kemiskinan yang turun hingga 9,82 persen berdasarkan data BPS atau pernyataan sesorang atau sekelompok orang yang mengklaim jika di lapangan jumlah penduduk miskin bertambah. Baik data Bank Central maupun data BPS tentunya jauh lebih mudah diverifikasi kebenarannya.

Ketika kita sudah mulai mempercayai kisah-kisah yang tidak dapat diverifikasi atau kasus-kasus terisolasi menjelang Pemilu, maka pada saat itu kita sudah mengalami kerusakan LOFC. Pada saat itu akan mudah juga untuk kita membenci mereka-mereka yang berbeda dengan kita, apakah itu berbeda agama, berbeda suku, warna kulit dan lain sebagainya. Sebagai bangsa yang majemuk dari akar budayanya, mungkin saja kehancuran yang lebih hebat akan kita alami ketika alami ketika mulai berseteru karena perbedaan.

Seperti yang sering digaungkan oleh Inovator 4.0 Indonesia dengan tagar #2019warasbareng, kewarasan bersamalah yang dapat menyelamatkan kita dari gencarnya propaganda hoax dalam pemilu kali ini. Kewarasan bersama jugalah yang dapat menghindarkan kita dari disintegrasi dan kehancuran.

Jika tidak, nanti ketika kita sedang tertatih-tatih membersihkan puing-puing bangsa yang sudah porak poranda karena hoax dan kebencian. Sesorang seperti Lewandowski, yang kebetulan menjadi konsultan yang menyarankan pola kampanye hoax ini diterapkan di Indonesia, berbicara disuatu forum yang nyaman seperti Oxford Union. Kemudian orang tersebut mendapatkan pertanyaan yang kurang lebih sama dengan Lewandowski, bagaimana rasanya mendapatkan kemenangan yang berakibat kehancuran pada suatu bangsa. Kemudian ia akan dengan santainya menjawab, “kami menang dan itu membuktikan jika moetode kami sangat efektif”.

3 Comments

  1. Kalau sekarang para pendukung Jokowi juga sangat membenci Prabowo atau pendukungnya itu penjelasannya jadi bagaimana ya ? Dampak FOF yang salah sasaran ? Atau karena Tim Jokowi juga menggunakan teknik yang sama ?

    Mungkin yang pasti adalah karena tim Jokowi juga berbohong.
    @ordeposttruth

  2. Mas Ahmad terimakasih banyak atas semua artikel yang ada, paling tidak sudah menambah wawasan saya.
    Salam jormat

Leave a comment