Salah Paham Mengenai Reklamasi (2)

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, adalah sebuah kekeliruan menyamakan Reklamasi Jakarta dan Giant Sea Wall (GSW). Kedua infrastruktur tersebut lahir dari latar belakang yang berbeda dan melalui kepres yang berbeda juga. Ide untuk mengintegrasikannya baru-baru ini saja mengemuka, tapi tidak lantas kalau kita bisa secara langsung melihat reklamasi Jakrta dan GSW adalah hal yang sama.

Selain kesalahpahaman mengenai perbedaan antara Reklamasi Jakarta, kesalahpahaman lainnya adalah pernyataan berikut :

Kalau menentang Reklamasi Teluk Benoa, maka seharusnya juga secara otomatis akan menentang Reklamasi Teluk Jakarta juga. Pertanyaannya, benarkah demikian? 

Perlu diperiksa lebih lanjut mengenai apakah kedua reklamasi ini memang berbeda atau bisa juga kita samakan. Ada banyak sisi yang bisa dilihat jika ingin membandingkan permasalahan Reklamasi Teluk Benoa dan Reklamasi Teluk Jakarta. Namun, permasalahan reklamasi di kedua Teluk ini juga tidak bisa dilihat semata-mata hanya dari satu sisi saja.

Reklamasi Teluk Jakarta dan Teluk Benoa vs Lingkungan

Jika bersikukuh untuk meninjaunya semata-mata dari isu lingkungan, dengan mudah kita akan berkesimpulan kalau reklamasi apapun akan berdampak negatif pada lingkungan. Tidak hanya reklamasi bahkan, hampir semua infrastruktur yang dibangun oleh manusia akan memberikan dampak negatif. Infrastruktur apapun seperti Jalan, Jembatan, Pelabuhan, permukiman memberikan dampak negatif bagi lingkungan, meskipun infrastruktur tersebut merupakan kebutuhan bagi orang banyak.

Dalam konteks reklamasi, jika alasannya adalah tidak boleh sama sekali memberi dampak pada lingkungan, maka kita juga harus fair dengan menolak semua kegiatan reklamasi untuk alasan apapun. Konsekuensinya, ada banyak sekali infrastruktur yang dibangun di atas tanah reklamasi. Ada banyak pelabuhan-pelabuhan di daerah kepulauan terpencil yang menggunakan reklamasi dalam konstruksinya karena tuntutan teknis. Sementara, keberadaan pelabuhan tersebut merupakan kebutuhan bagi masyarakat didaerah tersebut sebagai jalur supply logistik sehari-hari mereka. Selain itu, ada banyak permukiman yang dibangun diatas lahan reklamasi. Bahkan mungkin juga kita harus memeriksa, jangan-jangan rumah yang kita tempati adalah hasil reklamasi daerah rawa sebelumnya.

Keberadaan populasi manusia dengan sendirinya merupakan ancaman bagi lingkungan. Pertumbuhan populasi secara langsung akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan pangan. Konsekuensinya, akan ada peningkatan kebutuhan lahan pertanian dan peternakan. Kondisi ini mendorong konversi daerah hutan menjadi daerah pertanian, sehingga kerusakan lingkungan terjadi. Ini baru dari sisi kebutuhan manusia terhadap pangan saja. Semakin banyak jumlah populasi manusia, semakin banyak pula kerusakan yang ditimbulkan. Maka, mau tidak mau kita harus menerima, kalau keberadaan tiap individu kita sebagai bagian dari populasi memberikan dampak negatif bagi lingkungan.

Dari kacamata lingkungan, terlepas dari besar atau kecilnya dampak tersebut, mau tidak mau kita harus menerima kalau Reklamasi Teluk Jakarta maupun di Teluk Benoa memang sama-sama memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Sementara dari sisi konsekuensi pertumbuhan wilayah dan konsekuensi pertumbuhan populasi manusia di kawasan tersebut, kita akan dapat melihat perbedaan kedua Reklamasi tersebut.

Reklamasi Teluk Jakarta dan Teluk Benoa vs Kebutuhan Lahan

Seperti yang sudah dibahas juga sebelumnya, Reklamasi Jakarta merupakan masalah kebutuhan lahan. Perkembangan Jakarta yang sangat pesat membutuhkan ruang untuk berkembang. Kepres 51 tahun 1995 ini juga memuat kebutuhan lahan untuk mengantisipasi pertumbuhan kota ini sebagai dasar usulan reklamasi di Teluk Jakarta.

Sementara Reklamasi Teluk Benoa yang didasarkan pada Perpres No.51 Tahun 2014 yang keluarkan oleh Presiden SBY diakhir masa jabatannya, dilatar-belakangi oleh usaha percepatan pertumbuhan sektor pariwisata. Perkembangan pariwisata di Bali menjadi potensi ekonomi didaerah ini dan juga menjadi ujung tombak untuk percepatan pertumbuhan ekonomi di sektor pariwisata dalam MP3EI. Kebutuhan membangun hotel, penginapan dan juga pusat rekreasi akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Potensi ini yang menjadi latar belakang rencana reklamasi di Teluk Benoa.

reklamasi-2.jpgIlustrasi Reklamasi Teluk Benoa dengan semua fasilitas rekreasi diatasnya. Reklamasi ini direncanakan sebagai pusat pariwisata bertaraf internasional.

Jadi jika dibandingkan, reklamasi di Teluk Jakarta adalah kebutuhan (need) bagi pertumbuhan wilayah tersebut. Sementara reklamasi teluk Benoa lebih tepat dikatakan sebagai potensi bisnis (opportunity) di sektor pariwisata. Bagaimana kita bisa menyimpulkan demikian? Melalui gambar dari data BPS berikut dapat dijadikan awal untuk menjelaskan perbandingan tersebut.

.Jakarta.jpg

Peta tersebut menunjukan kepadatan tertinggi untuk Provinsi Bali berada di wilayah Bali Selatan dengan 1300 jiwa/km2. Sementara wilayah dengan kepadatan terendah di Jakarta adalah 2000 jiwa/km2 atau lebih tinggi dari kepadatan tertingggi di Bali.

Sumber diolah dari: data BPS yang bisa diakses di https://sp2010.bps.go.id/index.php/

Berdasarkan data ini kita bisa simpulkan dengan mudah, kepadatan penduduk di Jakarta jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepadatan penduduk di Bali. Artinya kebutuhan pemukiman dan pusat aktifitas seperti sekolah, pasar dan lain-lainnya akan jauh lebih di besar di Jakarta dari pada di Bali.

Dari perbandingan tingkat kepadatan antara Bali dan Jakarta, kita juga masih bisa melihat, meskipun padat, wilayah Selatan Bali sebenarnya masih memiliki ruang untuk daerah permukiman. Sementara Jakarta sudah tidak memiliki lahan lagi untuk daerah hunian. Pilihan saat ini bagi warga Jakarta saat ini adalah memaksa sebagian besar warga Jakarta tinggal di hunian vertikal baik berupa rusun maupun apartement. Ini pun tidak akan mencukupi untuk jangka panjang bahkan jangka menengah. Meskipun dengan semua kompleksitas masalah di ibu kota ini, Jakarta akan tetap atraktif bagi masyarakat Indonesia untuk datang. Tentu saja artinya jumlah populasi manusia di Jakarta akan bertambah dan kebutuhan ruang kembali menjadi isu yang harus diselesaikan.

Untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan wilayah masa yang akan datang, bagi Provinsi Bali masih tersedia cukup lahan untuk dikembangkan di dalam wilayah provinsinya sendiri. Sementara bagi Jakarta, pilihan yang tersedia adalah memanfaatkan daerah sekitar sebagai daerah penyangga di Provinsi Tetangganya, Jawa Barat dan Banten. Namun ini juga perlu diuji, mungkinkah?

Reklamasi Teluk Jakarta dan Teluk Benoa vs Pertumbuhan Wilayah

Jika dilihat dari faktor kepadatan penduduk wilayah Utara dan Timur Provinsi Bali masih memiliki tingkat kepadatan yang rendah (dengan kepadatan <300 jiwa/km2). Hal ini yang mungkin saja mendasari beberapa program pemerintah untuk infrastruktur baru lebih dipusatkan pada wilayah utara ini. Misalnya rencana pengembangan pelabuhan di Celukan Bawang sebagai Pelabuhan Utama untuk menggantikan Pelabuhan Teluk Benoa yang terlatak di daerah selatan Bali. Serta, rencana pembangunan bandara baru di Buleleng Timur untuk komplementer Bandara Ngurah Rai yang juga terletak di wilayah selatan. Kedua infratruktur tersebut terletak di wilayah utara Pulau Bali. Sehingga, pembangunan infrastruktur-infrastruktur tersebut diharapkan dapat mendistribusikan pertumbuhan wilayah Bali ke arah Utara dan Timur.

Sementara untuk daerah Jakarta, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, pilihan yang dimiliki oleh Jakarta adalah memanfaatkan daerah penyangganya yang berada di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten seperti Teanggerang, Depok dan Bekasi. Namun, jika dilihat tingkat kepadatan di wilayah-wilayah penyangga tersebut juga sudah sangat padat. Data BPS berikut memberikan gambaran mengenai kepadatan diwilayah-wilayah penyangga ibu kota negara ini.

Banten.jpgJabar.jpg

Kondisi kepadatan daerah-daerah seperti Tanggerang (>9000 jiwa/km2), Bekasi( >11000 jiwa/km2) (Sumber diolah dari https://sp2010.bps.go.id/index.php/)

Dengan kondisi tersebut, dari sisi solusi memanfaatkan daerah penyangga, kita bisa menyimpulkan bahwa Jakarta sudah kehabisan ruang gerak untuk pertumbuhan kotanya. Hal ini salah satunya adalah akibat ibu kota Republik ini sebagai pusat pemerintahan dan juga sebagai pusat ekonomi dan bisnis secara bersamaan. Ditambah dengan paradigma pembangunan yang masih sentralistik membuat Jakarta tumbuh jauh lebih pesat dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia.

Ruang gerak yang tersisa untuk pertumbuhan Jakarta adalah ke arah Bogor Puncak dan Cianjur (BOPUNJUR). Namun daerah ini merupakan daerah resapan air. Artinya jika terjadi exploitasi dataran tinggi ini, maka implikasinya adalah kerusakan ekosistem dan ancaman banjir di wilayah Jakarta. Bisa dibayangkan jika seluruh daerah resapan dikawasan tersebut dikonversi menjadi daerah hunian dan segala penunjangnya, maka seluruh aliran permukaan (overland flow) pada daerah ini akan bertumpuk di wilayah Jakarta yang rendah. Dengan kondisi land subsidence di Jakarta, banjir yang terjadi akan jauh lebih buruk. Semakin pesat pertumbuhan Jakarta, semakin cepat dan buruk juga kerusakan yang akan terjadi dikawasan ini.

Maka pilihan lainnya adalah dengan memanfaatkan ruang laut dengan Reklamasi. Reklamasi bagi Jakarta diharapkan akan memberikan lahan yang cukup bagi pertumbuhan wilayahnya. Gambaran berikut menunjukan reklamasi Jakarta dan konversi sederhananya terhadap jumlah jiwa yang bisa ditampung.

479622_620.jpg

Reklamasi Jakartan dan Penyediaan Lahan Bagi Kebutuhan Penduduk Jakarta. Salah satu fungsi dari Reklamasi Jakarta ini adalah menyediakan lahan bagi permukiman warga Jakarta.

Bagi Provinsi Bali, tingkat kepadatan di wilayah ini masih memberikan ruang bagi perkembangan wilayah bahkan daerah di wilayah Selatan-nya yang padat. Wilayah Utara dan Timur Bali juga masih tersedia untuk perkembangan jangka panjangnya. Selain itu, dari sisi wilayah, Provinsi Bali juga jauh lebih luas dari pada Jakarta. Dalam konteks ini, masih tersedia banyak pilihan untuk ini selain melakukan Reklamasi bagi Provinsi Bali.

Reklamasi Teluk Jakarta dan Teluk Benoa vs Pemerataan Pembangunan

Dari sisi pemerataan pembangunan, pertumbuhan antara wilayah Utara dan Selatan Bali masih sangat timpang. Kita bisa dengan mudahnya merasakan ketimpangan ini jika berada di Bali. Kita bisa lihat dari kemacetan di wilayah Kuta dan Denpasar. Maka Reklamasi di Teluk Benoa ini justru akan semakin memperburuk ketimpangan antara wilayah Utara dan Selatan Bali.

Padahal jika kita lihat, wilayah utara juga memiliki potensi wisata yang tidak kalah menariknya dari daerah selatan. Tidak tersedianya infrastruktur yang baik di kawasan tersebut, membuat wisatawan cenderung enggan untuk berkunjung ke wilayah Utara. Ketika pemerataan pembangun pada wilayah ini terjadi, mungkin saja investasi pariwisata didaerah utara akan menjadi lebih menarik.

Ketimpangan pertumbuhan wilayah Selatan dan Utara Bali in identik dengan ketimpangan antara pusat dan daerah untuk kasus Jakarta. Selama pertumbuhan masih terpusat di Jakarta, maka masalah kebutuhan lahan akan terus-menerus terjadi. Sehingga lahan reklamasi yang sekarang pun tidak akan mencukupi. Salah satu solusi untuk mengatasi hal ini adalah menyebarkan pusat pertumbuhan tersebut ke daerah-daerah. Mungkin jika ousat pemerintahan dan pusat bisnis dipisah, kebutuhan lahan di Jakarta tidak sebesar sekarang. Dalam konteks yang lebih ekstrim adalah dengan memindahkan ibu kota pemerintahan ke daerah lain. Sehingga Jakarta cukup sebagai pusat bisnis saja, seperti New York dan Washington DC di Amerika atau Sidney dan Canberra di Australia. Pusat pemerintahan dan pusat perdagangan di negara-negara tersebut dipisahkan. Sebenarnya Soekarno pun berpikiran kalau ibu kota Indonesia sebaiknya di Kalimantan. Berdasarkan pertimbangan lokasinya Soekarno merencanakan Palangkaraya sebagai Ibu Kota Indonesia.

Pemindahan ibu kota juga menjadi solusi bagi beberapa negara, bahkan Malaysia memindahkan ibu kotanya dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya. Mungkin, Indonesia butuh solusi yang lebih ekstrim lagi dari itu karena Kuala Lumpur dan Putra Jaya masih berdekatan. Ide pemindahan ibu kota ini sudah pernah diangkat pada masa pemerintahan SBY sebelumnya. Namun ide ini tidak begitu populer karena biaya yang harus keluarkan cukup mahal dan lain sebagainya. Jika ternyata reklamasi ini dipandang sangat buruk, mungkin ide memindahkan ibu kota ini bisa menjadi jalan keluarnya.

Selama pertumbuhan pusat tetap jauh lebih pesat dari daerah, maka akan menjadi konsekuensi logis kalau Jakarta akan terus menerus membutuhkan lahan untuk berkembang. Dengan terbatasnya ruang gerak tersebut maka pilihan yang kita miliki adalah Reklamasi. Bahkan dalam jangka panjang, Reklamasi mungkin saja tidak lagi mencukupi untuk menjawab kebutuhan Jakarta. Sehingga, Giant Sea Wall (GSW) malah jadi dibutuhkan nantinya. Karena dalam masterplan NCICD phase B tersebut juga terdapat rencana reklamasi yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan lahan di DKI.

Menolak Reklamasi Teluk Jakarta dan Reklamasi Teluk Benoa 

Kembali kepertanyaan awal, bisakah kita bersikap berbeda terhadap reklamasi di dua daerah ini? Misalnya menentang Reklamasi Bali, tapi mendukung Reklamasi di Jakarta. Jawabannya tentu saja bisa, bahkan sudah memang seharusnya berbeda.

Berdasarkan penjabaran diatas, kita tidak bisa menyamakan Reklamasi Jakarta dengan Reklamasi Bali. Dari sisi kebutuhan, Reklamasi Jakarta adalah masalah urgensi kebutuhan lahan yang merupakan kebutuhan primer bagi wilayah ini. Sementara Reklamasi Teluk Benoa hanya opportunity bisnis pariwisata yang bisa jadi hanya kebutuhan tersier bagi Bali.

Sementara untuk menolak reklamasi tersebut, kita harus melihat melihat dari konsekuensinya. Dalam konteks ini kita harus melihatnya secara terpisah antara Reklamasi Teluk Benoa dan Reklamasi Teluk Jakarta bahkan juga termasuk Giant Sea Wall (GSW). Kita juga harus berhati-hati ketika akan menyatakan menolak. Dari sisi konsekuensi untuk membatalkan atau menghentikan, kita bisa urutkan dari yang terkecil dan terbesar antara Reklamasi Teluk Benoa, Reklamasi Teluk Jakarta dan GSW.

Reklamasi Teluk Benoa adalah yang paling kecil konsekuensinya jika dibatalkan. Jika melihat dari sisi kebutuhan, bisa dikatakan Bali tidak terlalu membutuhkan reklamasi Teluk Benoa. Reklamasi ini lebih kepada menjawab opportunity dari pada need. Selain itu, saat ini Reklamasi Teluk Benoa masih dalam tahapan perencanaan awal. Jadi seharusnya belum ada pelaksanaan di lapangan. Sehingga bisa dikatakan tidak ada konsekuensinya bagi lingkungan ketika dibatalkan.

Giant Sea Wall (GSW) adalah konsekuensi menengah jika dibatalkan. Secara kebutuhan, GSW merupakan kebutuhan jangka panjang bagi Jakarta dalam soal lahan. Permasalahan kebutuhan lahan ini bisa ditekan dengan cara mendistribusikan pertumbuhan kota Jakarta ke daerah lainnya. Permasalahan land subsidence memang merupakan kebutuhan jangka pendek. Namun, masalah ini juga bisa diatasi jika pemerintah memiliki solusi untuk menyediakan air bersih yang berkualitas. Tersedianya air bersih akan menekan besarnya pengambilan air tanah oleh masyarakat. Selain itu, proyek ini juga masih dalam tahapan perencanaan. Belum ada pekerjaan fisik yang dimulai. Sehingga, pembatalan GSW tidak memiliki dampak lingkungan sama sekali.

Reklamasi Teluk Jakarta adalah konsekuensi paling tinggi jika dibatalkan. Program ini selain menjawab kebutuhan lahan untuk jangka pendek, juga telah dilaksanakan sebagian. Membatalkan Reklamasi Jakarta konsekuensinya adalah harus mencarikan lahan untuk kebutuhan lahan kota ini. Merubah kebijakan pola hunian di Jakarta dari rumah tapak (landed house) ke perumahan rusun atau apartement hanya akan memberikan solusi sementara. Pada akhirnya Jakarta akan tetap butuh lahan baru. Di sisi lain, saat ini sudah ada pulau-pulau yang terbangun di Teluk Jakarta ini. Artinya menyatakan menolak Reklamasi Jakarta menjadi tidak sederhana. Karena setelahnya akan dikuti, apa yang harus dilakukan jika Reklamasi di Teluk Jakarta ini dibatalkan? Ada dua opsi untuk itu, (1) menolak secara keseluruhan dengan membongkar seluruh pulau yang ada atau (2) hanya menghentikan dan membiarkan pulau-pulau yang sudah terbangun tetap ada. Pilihan-pilihan ini juga akan membawa kita ke pertanyaan berikutnya.

Benarkan kedua opsi tersebut tidak akan berdampak terhadap lingkungan? Jangan-jangan konsekuensi jika reklamasi dibatalkan malah lebih besar dibandingkan melanjutkannya? Ini adalah kesalahpahaman lain mengenai reklamasi..

Next..

Benarkah membatalkan Reklamasi Jakarta berarti kita akan menyelamatkan lingkungan?

2 Comments

Leave a comment