KATANYA seorang laki-laki mukmin dijanjikan Alquran akan mendapatkan bidadari di surga. Bidadari tersebut digambarkan sebagai pemuas nafsu para pria “beriman” sebagai ganjaran atas amalannya dan keberhasilannya menahan hawa nafsunya selama di dunia. Singkatnya, surga digambarkan seolah-olah diciptakan untuk kaum laki-laki yang dipenuhi wanita cantik yang siap melayani mereka. Pertanyaannya, benarkah demikian?
Kata-kata “bidadari ” dalam Al-quran, salah satunya seperti yang dijelaskan dalam surah Al Waqiaah:22, menggunakan kata ‘ḥūr’ (حُور). Secara literal diartikan sebagai mata yang jernih atau terang benderang (gazelle-eyed), yang paling indah dari mata (most beautiful of the eyes), yang membedakan dengan hawar (حَوَر) atau pembeda antara bagian putih pada mata dan bagian hitam pada pupil mata. Kata ‘ḥūr’ (حُور) dapat juga diterjemahkan sebagai pasangan yang suci (pure companions). Hal yang menarik dari sisi epistemology ini, meskipun kata ‘ḥūr’ (حُور), merupakan bentuk plural (jamak) dari ʾaḥwar (أحْوَر) yang bersifat masculine dan hawrāʾ (حَوْراء) yang bersifat feminine, kata ‘ḥūr’ (حُور) ini bersifat feminine. Sehingga terkadang digunakan untuk menggambarkan kecantikan perempuan dalam bentuk jamak.
Menariknya lagi, kata ‘ḥūr’ (حُور) ini juga diserap kedalam beberapa bahasa Eropa sebagai “houri“, kajian entimology menemukan kata ini diserap dalam Bahasa Prancis pada tahun 1654 dan kedalam Bahasa Inggris pada tahun 1737 dengan makna menggairahkan (voluptuous), indah (beautiful), wanita yang memikat (alluring woman). Mungkin ini juga yang memulai penggunaan kata whore (wanita penggoda) yang identik dengan kata ‘ḥūr’ (حُور) ini. Namun beberapa studi juga menemukan tidak adanya kaitan pada awalnya untuk kata whore dan houri yang membuat persepsi houri menjadi melekat pada maksud seksual (bidadari yang melayani pria). Artinya, kata ‘ḥūr’ (حُور) tidak harus diidentikan dengan wanita meskipun sifat katanya feminine.
Al Quran memang diturunkan 1400 tahun yang lalu dalam bahasa Arab, namun tidak serta merta kita bisa memahami terminologinya dalam konteks Bahasa Arab saat ini. Dengan perbedaan 14 abad lebih tersebut terdapat kemungkinan kata-kata dalam Al quran bisa berbeda makna dengan Bahasa Arab yang kita kenal saat ini. Analoginya mungkin sama dengan betapa sulitnya karya-karya Shakespeare dipahami oleh orang-orang Inggris atau dari negara lain yang menggunakan Bahasa Inggris modern, padahal Shakespeare menuliskan karyanya dalam Bahasa Inggris. Artinya, Bahasa Inggris yang digunakan oleh Shakespeare tidak sama dengan Bahasa Inggris saat ini. Sehingga perlu dipahami konteksnya pada masa karya-karya tersebut ditulis. Bahkan saat ini tengah dilaksanakan sebuah project untuk menerjemahkan karya-karya Shakespeare tersebut kedalam plain English.
Bisa dibayangkan dalam konteks Alquran, betapa kompleksnya permasalahan terjemahan kata ‘ḥūr’ (حُور) tersebut. Shakespeare hanya berbeda beberapa ratus tahun dengan kita sementara Al-quran sudah berbeda lebih dari seribuan tahun. Bahasa tidaklah static namun dynamic, artinya perubahan dan pergeseran makna akan terjadi pada setiap Bahasa. Tidak heran, setiap tahunnya Oxford Dictionary selalu merevisi sekitar 1000 kata. Hal yang sama untuk seluruh Bahasa lainnya, perubahan makna baik itu generalisasi, spesialisasi, asosiasi, sintesia, ameliorasi ataupun peyorasi pasti akan terjadi. Tidak terkecuali bahasa Arab, juga akan mengalami perubahan dalam makna dalam beberapa kata atau bahkan sebagian besar kata.
Sifat kata feminine dan masculine mungkin tidak lazim bagi kita di Indonesia. Bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk gender dalam bahasanya. Namun dalam beberapa Bahasa seperti France, Norsk dan juga Arab, bentuk sifat gender ini melekat pada setiap kata. Pemahaman terkadang jadi dipengaruhi oleh sifat kata ini ketika diterjemahkan kedalam Bahasa lain. Dengan rentang waktu 1400 tahun, interaksi kebudayaan mengakibatkan setiap Bahasa saling mempengaruhi. Sehingga mungkin saja interaksi budaya akan mengakibatkan pergeseran makna dalam bahasa Arab juga. Termasuk dari dalam memahami makna kata ‘ḥūr’ (حُور) yang sering diartikan sebagai bidadari ini.
Akhirnya, surga bukanlah tujuan tertinggi dari manusia beribadah dan menjauhi perbuatan dosa, apalagi untuk mengejar bidadari. Lagi pula, surga tidak diciptakan Allah hanya untuk kaum laki-laki saja. Tidak ada penjelasan eksplisit maupun implisit mengenai ini. Tujuan tertinggi yang seharusnya diraih oleh manusia adalah Nafs Muthma’inah atau jiwa yang tentram. Menjadi mukmin bukan serta merta mengharapkan imbalan, namun mendapatkan keridhoan Allah SWT. Jadi ada atau tidaknya Bidadari di surga nantinya, tidak bermasalah karena ibadah sudah menjadi kebutuhan bagi para Nafs Muthma’inah. Selain itu, Rasulullah SAW menjelaskan surga dengan tidak ada mata yang pernah melihat, tidak ada yang pernah merasakan. Sehingga tidak mungkin dibayangkan dengan cara membandingkannya dengan kehidupan di dunia. Hal yang sama dengan makna ‘ḥūr’ (حُور) atau bidadari ini. Tidak mungkin dijelaskan dengan perspektif kehidupan di dunia. Apalagi membandingkannya dengan ALEXIS.