SJW, Horseshoe Theory dan the Woke Culture

Ketika Todd Philips, sutradara film Joker, ditanyakan kenapa ia yang selama ini dikenal karena film-film dengan genre komedi tiba-tiba tertarik menggarap film dengan genre drama dengan nuansa kelam seperti Joker ini? Todd menjawab, “coba saja melucu di tengah-tengah merebaknya budaya the woke“. The woke adalah istilah slang yang diambil dari bahasa Afrika untuk term the awaken progresif. Term ini juga biasa digunakan untuk Social Justice Warior (SJW) atau pejuang keadilan sosial. SJW merupakan term peyoratif untuk seseorang yang mem-promotes social progressiveness, feminism, multikulturalism atau dalam term politik biasa juga dikenal sebagai left-wing dalam kontinum ideologi politik. Term ini sebenarnya baru-baru ini saja mengalami peyorasi, sekitar tahun 2014 melalui peran social media. Sebelumnya term SJW ini sebenarnya bernuansa netral.

Hal ini mungkin saja didorong ketidak-sukaan sebagian orang terhadap mereka-mereka yang merasa paling aktivis, paling pro ini itu ataupun paling progresif dibandingkan yang lain. Labelisasi SJW ini akhir-akhir ini cukup akrab di keseharian kita. Meskipun pelabelan SJW ini tidak sepenuhnya tepat karena terkadang terlalu menyederhanakan ideologi politik yang spektrumnya sangat beragam. Tidak melulu setiap spektrum ideologi tersebut bisa beririsan dengan ideologi lainnya.

Namun tidak dapat pula dipungkiri, tindak-tanduk para SJW yang merasa paling progressive ini terkadang membuat dahi berkerinyit. Ada kesan para SJW ini melihat dunia hanya diametral. Mereka membagi manusia menjadi dua kelompok saja, mereka adalah yang progresif sementara yang tidak sepaham dengan mereka adalah bigots ataupun fasis. Sikap-sikap tersebut biasanya ditemukan dikelompok-kelompok far right. Dimana mereka membagi manusia sebagai kelompok yang benar dan yang lainnya adalah kafir.

Seperti yang dituliskan oleh Valerie Tarico, seorang psychologist dan author, dalam blognya [1], “The Righteous and the Woke – Why Evangelicals and Social Justice Warriors Trigger Me in the Same Way“. Tarico menjabarkan bagaimana ia melihat kesamaan antara seorang the woke atau para SJW dengan evangelist. Jika the woke adalah representasi dari kelompok far left, maka evangelist merupakan kelompok yang ia jadikan sebagai rujukan untuk kelompok far right.

Jika SJW ini adalah representasi seseorang yang sangat-sangat progresif dari kutub kontinuum ideologi politik, bagaimana kita menjelaskan sikap-sikap yang selama ini lebih identik dengan sikap far right?

Konservatif dan progresif dari sudut pandang Neuroscience

Jika political leaning dibagi menjadi dua kutub antara progresif dan konservatif, perkembangan neuroscience telah berhasil menjelaskan korelasi political leaning tersebut dengan fisiologi otak manusia manusia. Berdasarkan penelitian-penelitian dibidang neuroscience, Amygdala dan Cingulate Cortex yang menentukan apakah kita akan jadi progresif dan konservatif. Amygdala berkaitan dengan rasa takut kita. Bagian ini diyakini merupakan bagian paling tua dalam rentang evolusi manusia. Sehingga sering juga disebut sebagai reptilian brain manusia. Amygdala juga yang mengendalian survival instinct manusia. Ketika kita merasa takut, semua panca indera kita bekerja jauh lebih baik. Amygdala yang teraktivasi membantu kita untuk mengambil keputusan fight or flight ketika marabahaya mengancam. Sementara Cingulate Cortex atau Insula merupakan bagian yang berhubungan dengan empati manusia. Bagian ini diketahui akan sangat aktif ketika manusia atau mamalia lainnya sedang menyusui (nurturingoffspring-nya. Sehingga bisa dikatakan konservatif akan tergerak oleh rasa takut sementara progresif tergerak oleh empati. Secara detail hal ini pernah diulas di sini.

Perbedaan struktur otak antara liberal dan konservatif berdasarkan penilitan Kanai et al. 2011  [1]

Penelitian Ryota Kanai et. al 2011 [2] menjadi terobosan baru dibidang ini. Kanai et. al 2011 menunjukkan perbedaan struktur otak manusia menentukan kecondongan sikap politiknya (political leaning) seseorang. Penelitian yang melakukan MRI scan pada beberapa respondents yang sebelumnya sudah dikelompokkan berdasarkan political leaning-nya ini, menunjukkan kelompok konservatif memiliki amygdala yang lebih tebal sementara mereka yang dikelompokkan sebagai progresif memiliki insula yang lebih tebal.

Typical MRI scan pada pemilih konservatif dan progresif di Amerika Serikat berdasarkan riset Schreiber et al 2013 [2]

Penelitian Kanai et. al 2011 tersebut kemudian dilanjutkan oleh Darren Schreiber et. al 2013 [3]. Jika Kanai et al. 2011 melakukan penelitiannya dengan respondents dari masyarakat UK yang dibedakan dari pemilih partai Conservative dengan Partai Labour dan Libdem, Schreiber et. al 2013 mengambil respondents publik Amerika Serikat. Identifikasi dilakukan pada pemilih partai Republic yang merupakan representasi kelompok Konservatif dan Partai Democrat yang merupakan representasi kelompok progresif. Hasilnya, penelitian Schreiber et. al 2013 ini memperkuat hasil temuan Kanai et. al 2011 tersebut.

Berdasarkan penelitian Kanai et. al 2011 dan Schreiber et. al  2013 tersebut, maka secara neuroscience, karakter politik seseorang sebenarnya predetermined, atau sudah ditentukan berdasarkan fisiologi otaknya. Artinya, seorang progresif dan konservatif itu dilahirkan. Meskipun demikian, menurut beberapa neuroscientist juga mengatakan perkembangan otak itu seperti otot, ia dapat dilatih sedemikian rupa. Seseorang yang lahir sebagai konservatif bisa menjadi progresif ketika ia dididik/dilatih dengan menumbuh-kembangkan empatinya. Demikian juga sebaliknya, seorang yang lahir sebagai progresif bisa menjadi konservatif jika ia dididik dengan cara konservatif, dimana amygdala-nya teraktivasi secara terus-menerus.

Sikap politik kita sangat ditentukan oleh bagian mana dari otak kita paling aktif. Dalam konteks empathy dan fear ini, tentu saja kita bisa memahami bagaimana kelompok konservatif extreme atau far right mudah sekali membenci kelompok yang berbeda dengan mereka. Karena amygdala mereka mendorong mereka untuk itu. Bagian dari survival instinct mereka yang memerintahkan mereka untuk meyakini kalau langkah-langkah mereka benar. Survival instinct mereka juga mengatakan tidak ada ruang bagi keraguan dalam pertarungan mempertahankan keselematan. Sementara, agak sulit bagi kita jika kelompok progresif extreme, yang seharusnya lebih peka rasa empatinya, memiliki tindak-tanduk yang sama dengan far right, seperti yang diulas oleh Valerie Tarico tersebut.

Horseshoe theory

Ilustrasi tapal kuda pada horseshoe theory pada kontinuum ideologi politik. Diambil dari https://en.wikipedia.org/wiki/Horseshoe_theory

Pada tahun 2002, Jean-Pierre Faye, seorang filsuf dari Prancis meluncurkan bukunya yang berjudul Le Siècle des idéologies. Faye menyampaikan jika ideologi kontinuum antara konservatif dan progresif  itu tidak linear. Jika ideologi politik antara konservatif (right) dan progresif (left) ini dihubungkan dalam satu garis, maka ia akan membentuk garis lengkung seperti tapal kuda. Semakin jauh kita menarik garis antara ideologi-ideologi politik tersebut dalam satu garis kontinuum maka kedua ujungnya akan saling mendekati. Artinya, far right dan far left ini lebih mirip satu sama lainnya ketimbang core ideologi progresif atau konservatif-nya.

Tentu saja ide-ide Faye ini banyak mendapat penentangan, salah satunya adalah dari Simon Choat, seorang dosen senior dalam bidang political theory di Kingston University. Choat berargumen dari sudut pandang seorang leftist. Menurutnya, kesamaan antara far left dan far right ini adalah mereka sama-sama tidak suka dengan centrist liberal yang pro status quo. Argumen ini paling banyak digunakan oleh para penentang horseshoe theory untuk menyerang teori tersebut.

Disisi lainnya, yang mendukung horseshoe theory juga tidak kalah banyak. Beberapa publikasi dibidang political science menunjukkan kalau teori yang diusulkan oleh Jean-Pierre Faye tersebut valid. Salah satunya adalah Toner et. al 2013 [4] yang menunjukkan kedua kutub terjauh dalam kontinuum ideologi politik memiliki kesamaan dalam belief superiority atau percaya pada kebenaran pendapatnya. Baik far right dan far left sama-sama meyakini jika pendapat mereka paling benar, sementara pendapat orang lain adalah salah. Hal ini mungkin cukup menguatkan pendapat kalau sekelompok orang yang berada disisi progresif sama-sama memiliki self-righteous atau merasa paling benar sendiri seperti kelompok far right.

                        figure
Belief superiority dari kontinuum ideologi politik antara Conservative (right) dan Progressive (left). (Diambil dari https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0956797613494848#articleCitationDownloadContainer)

Dalam konteks ini, tentu saja pertanyaan awal tadi menjadi semakin menarik. Kenapa SJW atau the woke ini bisa mirip dengan far right? Jika orang-orang yang memiliki kecondongan ke ideologi progresif (left) adalah orang-orang yang memiliki insula lebih aktif, maka seharusnya far left adalah orang-orang yang paling peduli pada orang lain. Namun kenyataannya mereka secara karakter lebih mirip dengan orang-orang far right. Hal ini sangat menarik untuk didiskusikan.

Kegagalan metakognisi kedua kubu radicals

Left and Right Extreme dari Political Spectrum yang diasosiasikan dengan sikap Intolerant dan pandangan Dogmatic. (Diambil dari https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0960982218314209)

Rollwage et. al 2018 mengusulkan penjelasan mengenai kemiripan  far left dan far right ini. Mereka berargumen jika kedua kubu extreme far left dan far right ini tidak bisa mengetahui ketika mereka salah. Studi tersebut mengukur kemampuan metacognitive atau metacognition dari sesorang yang kemudian dikorelasikan terhadap political leaning-nyaMetacognitive disini didefinisikan sebagai segala bentuk pengetahuan ataupun aktifitas kognisi yang membuat kita bisa menganalisa dan mengkritisi informasi secara objective. Menurutnya, kedua kubu radical tersebut (far left dan far right) sama-sama mengalami kegagalan metacognitive. Studi ini menunjukkan kedua kubu extreme tersebut sama-sama overconfident dengan pendirian mereka. Pendapat ini juga didukung oleh Dr. Steve Fleming dari Wellcome Centre for Human Neuroimaging, UCL Queen Square Institute of Neurology ketika ia diwawancara oleh Independent.

Untitled
Prefrontal cortex, orbito-frontal cortex pada Struktur otak manusia

Kemampuan metacognitive ini sangat berhubungan erat dengan prefrontal cortex otak kita. Jika sebelumnya dalam bahasan ini dibahas mengenai political leaning antara right dan left itu sangat berhubungan dengan amygdala dan insula kita, maka yang menjadikannya extreme adalah kegagalan pada bagian prefrontal cortex nya.

Sehingga, meskipun far left ini memiliki kesamaan dengan kelompok progresif kebanyakan dalam hal empati. Empati kelompok far left ini akan cenderung selektif. Kita bisa lihat banyak SJW di US yang membela hak-hak minoritas African-American menjadi pembenci semua orang kulit putih yang dituding memiliki privilege karena ras nya, padahal ia sendiri adalah seorang kulit putih. Atau lebih ekstrim lagi, para pembela hak-hak hewan yang jadi membenci manusia karena manusia dianggap sebagai makhluk yang kejam pada makhluk lainnya.

Kondisi ini menunjukkan SJW extreme ini tetap memiliki empati, tapi disaat yang sama tidak dapat mengendalikan rasa marahnya, yang kemudian menjadi kebencian pada kelompok orang lain yang mereka anggap sebagai representasi dari masalah. Kegagalan metakognisi ini juga bisa digunakan untuk menjelaskan kenapa SJW ini dengan mudah merasa tersinggung (irritated) atau menjadi terpicu amarahnya (triggered) oleh hal-hal tertentu yang sebenarnya kecil.

Budaya the woke di Indonesia

Berkaca dalam beberapa kasus di tanah air akhir-akhir ini, kita bisa melihat kesamaan antara SJW tanah air dan kelompok Islam garis keras yang merupakan kubu far right di tanah air.  Dimulai dari kasus rasialis di Papua, seperti yang kita ketahui, Papua menjadi unrest karena kasus rasialis yang terjadi di Surabaya. Saya yakin, orang yang awam sekalipun dengan permasalahan di Papua, tentunya sudah bisa melihat potensi kasus ini akan mengarah pada konflik horizontal.

Bahkan Budiman Sudjatmiko, politisi PDIP, sudah berbicara dibanyak tempat mengenai ancaman konflik horizontal jika kasus di Papua ini tidak disikapi secara bijaksana. Namun ternyata hal ini tidak menyurutkan langkah para SJW di Indonesia untuk terus-terusan memanas-manasi situasi. Alhasil, kerusuhan di Wamena akhirnya terjadi. Hal ini sangat bertolak-belakang dengan karakter warga asli orang-orang Papua yang karakter aslinya berhati lembut. Ini bisa kita lihat ketika kerusuhan terjadi, mereka-mereka juga lah yang menyelamatkan warga pendatang dari amukan para perusuh.

Jika kita tanyakan para SJW yang sedikit banyaknya bertanggung jawab atas kerusuhan tersebut. Saya yakin mereka tidak akan merasa bersalah. Bagi mereka yang salah tetaplah pemerintah ataupun aparat. Tindakan itu juga tidak akan membuat mereka berhenti meskipun kemungkinan kerusuhan masih mengancam. Mungkin juga bagi mereka korban jiwa itu harga yang pantas dibayar untuk tercapainya kondisi ideal menurut mereka. Para SJW mungkin bisa juga melihat dari sudut pandang self righteous. Mungkin saja bagi para SJW tanah air ini, semua warga pendatang di Papua itu adalah antek pemerintah atau bagian dari oligarki, sehingga mereka layak untuk ditumpas, karena mereka bagian dari oppressor. Kemungkinan-kemungkinan ini bisa dijelaskan berdasarkan studi-studi yang dibahas di atas.

Hal yang sama juga kita lihat ketika aksi demonstrasi penolakan RKUHP dan UU KPK beberapa waktu yang lalu. Banyak sekali fallacy yang mereka gunakan ketika aksi demonstrasi dilakukan oleh anak-anak STM dan berujung ricuh. Justifikasi dilakukan oleh SJW tanah air dengan menggunakan fallacy demi fallacy atau selective scientific denial berdasarkan term-nya Valeria Tarico.

Analytical-critical thinking dan extreme ideologist

Dari penjelasan Rollwage et. al 2018 tersebut kita bisa menyimpulkan political leaning memang ditentukan oleh ke-aktif-an amygdala dan insula kita, namun prefrontal-cortex kita yang menentukan apakah kita bergerak ke arah extreme dari kedua kutub kontinuum ideologi tersebut. Seorang pecinta hewan akan menjadi pembenci manusia ketika prefrontal cortexnya tidak berhasil membatasi dirinya. Seorang feminist akan menjadi female chauvinist, seorang pembela HAM yang membela kelompok tertindas (the oppressed) akan menjadi penindas (the oppressor) terhadap mereka yang tidak sependapat dengan mereka akibat dari kegagalan metacognitive mereka.

Budaya the woke ini menjadi fenomena umum di banyak negara saat ini. Celakanya, di berbagai belahan dunia ini budaya the woke ini juga yang membuat kelompok far right berhasil mendapatkan kekuasaan. Far right memiliki ikatan persaudaraan (band of brotherhood) yang jauh lebih kuat dari far left yang cenderung lebih banyak spektrum ideologist-nya. Satu sama lainnya memiliki superiority believe masing-masing. Sehingga satu kelompok SJW akan menyerang kelompok SJW lainnya. Dalam sebuah negara demokratis, kondisi ini tentu saja tidak akan menguntungkan bagi kubu progresif.

Sangat penting bagi semua orang untuk mengasah kemampuan analytical dan critical thinking kita. Kemampuan ini akan melatih bagian prefrontal cortex kita agar sama -sama aktifnya dengan insula ataupun amygdala kita. Dengan demikian kita bisa melihat ada kebenaran lainnya diluar kebenaran yang kita yakini. Sehingga, ketika kita jadi seorang progresif, kita tidak akan menjadi seorang SJW dan demikian juga sebaliknya, ketika kita menjadi konservatif, kita menjadi konservatif moderate yang lebih tolerant.

 

References

[1] https://valerietarico.com/2019/01/24/the-righteousness-and-the-woke-why-evangelicals-and-social-justice-warriors-trigger-me-in-the-same-way/

[2] Kanai R, Feilden T, Firth C, Rees G. Political orientations are correlated with brain structure in young adults. Curr Biol. 2011;21(8):677–680. doi:10.1016/j.cub.2011.03.017

[3] Schreiber D, Fonzo G, Simmons AN, Dawes CT, Flagan T, et al. (2013) Red Brain, Blue Brain: Evaluative Processes Differ in Democrats and Republicans. PLOS ONE 8(2): e52970. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0052970

[4] Toner, K., Leary, M. R., Asher, M. W., & Jongman-Sereno, K. P. (2013). Feeling Superior Is a Bipartisan Issue: Extremity (Not Direction) of Political Views Predicts Perceived Belief Superiority. Psychological Science24(12), 2454–2462. https://doi.org/10.1177/0956797613494848

[5] Max Rollwage, Raymond J. Dolan, Stephen M. Fleming, (2018).Metacognitive Failure as a Feature of Those Holding Radical Beliefs, Current Biology, Volume 28, Issue 24,
2018, Pages 4014-4021.e8, ISSN 0960-9822,  https://doi.org/10.1016/j.cub.2018.10.053.
(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0960982218314209)

1 Comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s