Catatan Pandemic Covid19

Tulisan ini dibuat bukan untuk mengusulkan bagaimana dan apa langkah terbaik untuk menangani Pandemic Covid19 ini. Saya menahan diri untuk itu, sekarang adalah saatnya kita mendengar para ilmuwan dibidang ini untuk apa langkah terbaik dan berharap yang terbaik untuk seluruh umat manusia. Saya tidak memiliki latar belakang virologist, epidemiologist ataupun medic. Ini hanya sebuah catatan yang saya buat pada saat terjebak pada masa lockdown di UK.

Ketika pandemic Covid19 ini merebak di Wuhan China, langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah China adalah melakukan lockdown kawasan tersebut. Akses dari dan ke Wuhan di blockade dan semua orang dipaksa untuk tetap berada dirumah. Tidak sulit kita membayangkan bagaimana China bisa melakukan ini. Sistem pemerintahan yang otoriter memudahkan mereka membuat penduduk mengikuti himbauan pemerintah. Masyarakatnya juga tau kalau pemerintahnya tidak akan segan-segan memberikan hukuman berat. Belum lagi China sudah mengimplementasikan teknologi dalam mengawasi warganya secara ketat.

Namun tidak semua negara bisa mengikuti langkah China tersebut. Italia misalnya, ketika lockdown diberlakukan, nyaris tidak efektif sama sekali. Masih banyak orang-orang yang lalu lalang di tempat-tempat umum. Denda yang cukup tinggi dan ancaman hukuman penjara tidak membuat orang takut untuk keluar rumah. Spanyol juga mengalami hal yang sama. Ini lah yang kemudian menjadi alasan kenapa negara-negara Eropa lainnya tidak mau mengambil langkah serupa. Mereka belajar dari kegagalan kedua negara tersebut, bahwa tidak mudah melakukan lockdown.

Berbeda lagi ceritanya dengan India, pemerintahan Narendhra Modi menerapkan lockdown secara mendadak dan hal ini membuat masyarakat India menjadi panik. Beberapa saat setelah pengumuman total lockdown, masyarakat memenuhi toko-toko penjualan bahan makanan. Pekerja migrant dari negara-negara bagian lain keluar dari kota-kota besar di India untuk kembali ke kampung-kampung mereka. Masyarakat miskin terancam kelaparan. Seperti yang diulas dalam reportase berikut ini

Lockdown akan mendatangkan permasalahan yang cukup serius jika tidak dilaksanakan secara hati-hati dan dengan pertimbangan yang matang. Alih-alih membantu membendung penyebaran penyakit yang terjadi malah mempercepatnya karena membuat orang malah jadi berkumpul ditambah dengan munculnya permasalahan baru, ancaman kelaparan. Seperti yang terjadi di banyak negara, penduduk miskin lah yang paling menderita ketika lockdown ditetapkan. Mereka berada dikondisi dilema, keluar rumah mereka tertular penyakit tapi diam dirumah mereka kelaparan. Apalagi jika aturan ketat diberlakukan, entah dengan denda besar seperti di Italia dan Spanyol ataupun dengan cara yang lebih sederhana, kalau tidak boleh dibilang primitive, dengan cara digebuk dengan tongkat kayu seperti di India.

Kekebalan kelompok atau Herd Immunity

Akhir-akhir ini kita cukup sering mendengar mengenai Herd Immunity ataupun kekebalan kelompok. Idenya adalah membangun kekebalan pada sebagian besar populasi sehingga orang-orang yang sudah kebal ini akan melindungi kelompok-kelompok yang rentan supaya tidak tertular. Herd immunity ini sebenarnya bisa juga dicapai dengan vaccine atau imunisasi. Dimana ketika sebagian besar dari populasi sudah di-imunisasi untuk penyakit tertentu, maka herd immunity atau kekebalan kelompok tercapai. Untuk kasus Covid19 ini, karena vaksin nya belum ditemukan maka kekebalan kelompok bisa diharapkan untuk dicapai dari orang-orang yang terinfeksi dan sembuh sehingga mereka akan memiliki kekebalan terhadap Covid19 ini.

Herd immunity ini masih kontreversial dikalangan ilmuwan. Beberapa ilmuwan berpendapat sulit mendapatkan herd immunity dari Covid19 ini karena virusnya mudah bermutasi, sama halnya seperti virus flu pada umumnya (seasonal flu). Artinya kalau memang virus ini bermutasi dengan cepat, agak sulit juga kita berharap vaksinnya akan ditemukan. Kalaupun ditemukan, mungkin akan sama dengan flu shot. Setiap tahun kita harus di-imunisasi untuk mendapatkan kekebalan hingga tahun depan.

Namun, beberapa temuan terakhir juga menunjukkan kalau virus ini tidak secepat itu juga bermutasi.  Sehingga vaksin mungkin akan memberikan kekebalan dan juga orang yang sembuh sebagian besar akan mendapatkan kekebalan ini. Dr. Anthony Fauci, kepala CDC Amerika Serikat juga berpendapat seperti ini. Selain itu, mutasinya membuat varian ini menjadi tidak terlalu berbahaya bagi manusia. Jadi dalam konteks ini, herd immunity masih mungkin bisa diterapkan.

Beberapa negara diketahui berencana untuk mengejar kekebalan kelompok ini dalam waktu singkat. Inggris misalnya, sebuah laporan menyebutkan kalau pemerintah Inggris berencana untuk mempercepat sebagian besar orang terinfeksi sehingga kekebalan kelompok ini bisa tercapai. Tapi rencana ini memiliki konsekuensi ada banyak orang yang mungkin tidak terselamatkan. Berdasarkan perhitunan diperkirakan sekitar 270 ribu orang akan meninggal pada tahun ini akibat Covid19. Rencana ini kemudian dibatalkan setelah pemerintahan Boris Johnson ditekan habis-habisan oleh masyrakat Inggris.

Sebenarnya bukan hanya Inggris yang mengambil strategi ini. Beberapa negara di Eropa seperti Belanda dan Swedia, serta Israel ditengarai menggunakan strategi ini. Hanya saja Belanda ditengah jalan mundur dari rencana ini setelah jumlah kematian menjadi cukup tinggi. Sementara Swedia masih meneruskan rencana yang mereka sebut sebagai Laissez-Faires Model, yang artinya let it go atau “biarkan saja”.  Demikian juga dengan Israel, melalui Naftali Bennet, mentri pertahanan Israel, pemerintahannya menyampaikan pentingnya untuk mencapai 70% populasi terinfeksi dan sembuh sehingga herd immunity dicapai.

Rencana herd immunity memang terdengar kejam. Karena pemerintah membiarkan masyarakatnya tertular oleh penyakit dan kemudian sebagian tersembuhkan melalui proses seleksi alam. Namun kalau dipikirkan kembali, dengan langkah containment atau pengurungan baik melalui lockdown seperti yang dilakukan oleh banyak nagara ataupun dengan tes masal seperti Korea Selatan pada akhirnya akan mengejar Herd Immunity juga. Terutama ketika tidak semua negara di dunia sepakat melakukan containment. Karena ketika containment dibuka, negara-negara yang tadinya sudah terbebas dari Covid19 ini akan kembali terjangkit dari negara-negara yang sudah memiliki herd immunity.

Misalnya saja Israel adalah satu-satunya negara yang tetap menjalankan strategi Herd Immunity. Seperti yang kita ketahui dinegara ini ada situs penting bagi tiga agama besar didunia. Ketika dunia merasa pandemi Covid19 ini sudah berakhir, orang-orang kembali berziarah ke Yerusalem, baik itu ke Masjidil Aqsa, ke tembok ratapan, bukit Golgota maupun ke  gereja Holy Sepulchre. Para peziarah ini akan kontak dengan masyarakat setempat yang sudah memiliki herd immunity. Maka sudah bisa dibayangkan selanjutnya akan ada gelombang wabah pandemi Covid19 berikutnya akan terjadi di negara-negara asalnya yang belum memiliki herd immunity seperti Israel.

Permasalahannya bukan dari herd immunity-nya, tapi rencana beberapa pemerintahan tersebut yang disinyalir menginginkan percepatan terbentuknya herd immunity. Tujuannya adalah agar negara mereka cepat keluar dari krisis. Karena setelah krisis pandemic Covid19 ini bisa dipastikan semua negara akan menghadapi krisis ekonomi. Percepatan terbentuknya herd immunity ini berkonsekuensi terhadap jumlah kematian yang cukup tinggi. Jumlah orang yang tertular dalam satu waktu akan membuat sistem pelayanan kesehatan collapse. Rumah Sakit akan kewalahan melayani pasien akibat Covid19 ini.

Containment untuk melandaikan curva

Salah satu usaha untuk membuat Rumah Sakit tidak kewalahan melayani pasien yang terkena Covid19 adalah dengan cara containment atau pengurungan. Containment ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya dengan Lockdown seperti yang sudah dibahas sebelumnya ataupun dengan cara aggresive melakukan testing untuk mencari siapa yang sudah tertular dan dilakukan isolasi terhadap mereka-mereka yang sudah tertular.  Namun kita sering lupa,  containment ini tidak untuk mengurangi jumlah yang tertular. Tapi hanya untuk melandaikan curva. Seperti yang diilustrasikan oleh gambar berikut.

Untitled

Kurva tersebut mengilustrasikan kalau containment hanya akan melandaikan kurvanya hingga berada dibawah kapasitas pelayanan rumah sakit. Sehingga semua orang bisa dilayani ketika sakit. Tapi akibatnya pandemi ini akan lebih lama berlangsung hingga menunggu jumlah yang terjangkiti mencapai ambang tertentu dimana penyakitnya tidak menyebar lagi. Hal ini tentunya jika saja vaksin-nya tidak ditemukan.

Kondisi ini bisa kita pelajari dari perbandingan pada kasus Spanish Flu pada tahun 1918 di dua kota di AS, St. Louis dan Philadelphia. Kita bisa lihat Philadelphia yang tidak melakukan langkah-langkah containment apapun lebih cepat keluar dari krisis dibandingkan St. Louis yang mengambil langkah-langkah social distancing dengan meliburkan sekolah dan melarang warganya berkumpul. Namun, perlu juga dilihat kalau angka kematian di Philadelphia yang lebih tinggi diakibatkan tidak tertampungnya jumlah pasien oleh kapasitas Rumah Sakit yang terbatas.

image

Jadi dari sini  kita bisa belajar, containment ini tidak akan mengurangi jumlah yang terinfeksi. Tapi hanya untuk mengulur waktu saja (buying time) agar rumah sakit tidak kewalahan melayani yang sakit. Terlebih lagi ketika penanganan ditiap negara tidak seragam melakukan containment, seperti yang sudah dibahas sebelumnya.

Multiple Waves

Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, pandemi seperti ini biasanya akan terjadi dalam beberapa gelombang (multiple waves). Artinya puncak penyebaran bisa beberapa kali. Selain itu ada kemungkinan puncak gelombang berikutnya akan lebih tinggi dari gelombang pertama. Kita bisa belajar dari H1N1 yang terjadi pada tahun 2009 silam. Data CDC AS menunjukkan kalau H1N1 terjadi dalam dua gelombang dan gelombang kedua lebih tinggi dari geombang pertama seperti yang ditunjukkan oleh gambar berikut.

H1N1 test positive reported to the CDC in the US

Kasus H1N1 berdasarkan laporan CDC Amerika Serikat dari 24 April 2009 (week 1) sampai 27 November 2009  (week 48).

https://doi.org/10.1371/journal.pone.0060343.g001

Spanish Flu yang terjadi kurang lebih seabad silam juga menunjukkan kalau pandemi ini terjadi dalam beberapa gelombang. Data Spanish Flu di UK ini menunjukkan kalau gelombang penyakit ini bisa sampai tiga puncak gelombang seperti yang ditunjukkan oleh gambar berikut.

1918_spanish_flu_waves

Data kematian akibat Spanish Flu di UK pada tahun 1918 dari Jordan E (1927) Epidemic influenza: a survey. Chicago: American Medical Association. Gambar diambil dari  https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3291398/#R21

Dari data-data pengalaman pandemi terdahulu ini, maka sebaiknya kita bersiap kalau pertempuran melawan Covid19 ini adalah pertempuran yang panjang. Perlu perencanaan yang matang agar kita bisa melewati wabah ini dengan sedikit korban. Baik itu korban akibat terjangkit Covid19 ini atapun akibat keputusan yang diambil dengan tergesa-gesa seperti yang terjadi di India.

Dilema dari Testing Masal

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, cara lain untuk melakukan containment adalah dengan testing masal seperti yang sudah dilakukan oleh Korea Selatan. Pemerintah Indonesia sudah menyatakan akan mengikuti langkah Korsel ini dalam melakukan containment. Namun pertanyaannya adalah seberapa perlunya kita melakukan test masal?

Salah satu yang terkadang luput dari perhatian kita adalah, sama halnya dengan lockdown ataupun social distancing, testing masal ini hanya untuk melandaikan kurva. Tapi tidak akan memberikan dampak apapun terhadap penanganan pasien yang sudah terkena penyakit ini. Pada akhirnya, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, banyak orang akan kembali membutuhkan pelayanan rumah sakit.

Artinya perlindungan terhadap tenaga kesehatan secara menyeluruh juga tidak kalah pentingnya. Penyediaan alat pelindung diri (APD) seharusnya juga diprioritaskan, bahkan sebaiknya lebih diprioritaskan dibandingkan pengadaan alat testing yang harus di import tersebut. Namun, sebagai negara penghasil textil terbesar di dunia,  hal ini tidak terlalu sulit. Karena konversi pabrik-pabrik textil  dengan mudah bisa dikonversi menjadi pabrik produksi APD. Salah satu contohnya adalah pabrik tekstil Sritex Indonesia yang saat ini sudah bergerak memproduksi APD bagi tenaga kesehatan Indonesia. Sekarang tantangannya hanya untuk mendistribusikannya. Sebagaimana yang kita tau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar, distribusi logistik akan selalu menantang di Republik ini.

Berdasarkan data di beberapa negara seperti di China dan Italy, pasien Covid19 ini bisa dibagi menjadi beberapa kategori. Asymptomatic atau tidak ada gejala dan tidak sakit sama sekali, kemudian orang tersebut memiliki kekebalan terhadap virus ini. Jumlah ini sekitar 30%. Kemudian orang-orang dengan gejala ringan. Dengan istirahat saja orang ini akan sembuh dengan sendirinya. Jumlah orang dengan kategori ini sekitar 56%. Selebihnya adalah tipikal pasien yang menunjukkan gejala berat (severe), orang-orang ini membutuhkan perawatan di rumah sakit, namun cukup dengan infus saja dan kemudian mereka sembuh. Nah pasien berikutnya adalah pasien yang kritis, orang-orang dalam kategori ini akan butuh ventilator, alat yang membantu mereka bernafas. Kategori ini yang sebagian besar berakhir dengan kematian, sepeti yang diilustrasikan dari data berikut ini.

1_WGCbwDAHS1KwXGKoEydLUADiambil dari https://medium.com/@tomaspueyo/coronavirus-the-hammer-and-the-dance-be9337092b56

Dari data tersebut dapat kita lihat kalau penyedaan ventilator menjadi penting untuk menghadapi pandemic Covid19 ini. Hal ini yang menyebabkan beberapa negara berusaha untuk mendapatkan ventilator dipasaran. Dalam kondisi seperti ini tidak mudah untuk mendapatkan ventilators, karena semua negara sedang berusaha untuk mendapatkan ventilator ini.

4879

Diambil dari : https://www.theguardian.com/world/2020/mar/27/how-ventilators-work-and-why-they-are-so-important-in-saving-people-with-coronavirus

Beberapa negara juga berusaha mengkonversi industri nya agar bisa memproduksi ventilators dalam jumlah besar. Australia misalnya, pemerintah disana meminta perusahan pembuat mobil Ford untuk memproduksi ventilator dalam jumlah besar.  Demikian juga dengan Amerika Serikat. President Trump dalam twitnya beberapa kali menyatakan sudah meminta pabrik mobil General Motor (GM) untuk memproduksi ventilator. Namun, langkah ini sepertinya tidak mudah, seperti dalam twitnya ini Trump mengeluhkan ketidak konsistenan GM untuk kesediaan mereka menyediakan ventilator bagi masyarakat AS.

EUIxsuLWoAE7Ghk

AS harus mengalihkan perburuan mereka keluar negri. Saat ini satu-satunya negara yang punya stok dan kemampuan untuk produksi ventilator dalam skala besar adalah China. Beberapa hari yang lalu, Trump menyampaikan kalau ia sudah ada kesepakatan dengan Xi Jin Ping, President China. Tidak jelas kesepakatan itu seperti apa, tapi banyak yang menduga kalau kesepakatan ini terkait dengan pengadaan ventilator. Karena menurut perhitungan, AS butuh setidak-tidaknya satu juta ventilator, jika mereka ingin menekan jumlah kematian di sana. Tentu saja ini membuat cemas banyak negara, karena mereka juga membutuhkan ventilator ini untuk negara mereka masing-masing.

Nah, melihat kondisi seperti ini tentu saja pertanyaannya, apapakah sebaiknya Indonesia juga melakukan hal yang sama? Apakah tidak sebaiknya pemerintah lebih fokus ke usaha menyediakan ventilators untuk menekan angka kematian? Karena sumber daya kita terbatas, maka perlu hati-hati mengeluarkan anggaran dalam penanganan. Salah satunya adalah mengeluarkan anggaran untuk test masal.

Misalnya seperti yang juga sering kita dengar, desakan agar pemerintah mengadakan alat test PCR yang harganya Rp. 700,000 jika dirupiahkan untuk melakukan test terhadap satu juta orang. Sehingga total anggaran yang dibutuhkan adalah 700 M rupiah. Maka pertanyaannya kenapa anggaran tersebut tidak dialokasikan saja untuk pengadaan ventilators. Harga ventilator mobile yang paling murah dipasaran adalah dikisaran $600-$1,000 atau dikisaran 10 juta sampai 17 juta rupiah per unitnya. Sehingga jika 70% saja anggaran untuk PCR tersebut dikeluarkan untuk membeli ventilators kita akan mendapatkan 30 sampai 40 ribu unit ventilators. Sebagai gambaran, seluruh DKI Jakarta saja hanya ada sekitar 300 unit ventilators, 30 ribu unit saja sudah 100 kali lipat peningkatan kapasitas kemampuan penangan pasien Covid19 dari segi ventilator saja.

Selain itu, suka atau tidak suka, semua peralatan test tersebut, baik rapid test ataupun swab, adalah sekali pakai. Selain itu, seperti yang sudah ditekankan berkali-kali ditulisan ini, testing masal ini hanya untuk mengulur waktu saja. Sementara ventilator masih bisa digunakan dalam beberapa tahun kedepan. Selain itu kita perlu memikirkan bagaimana menghadapi gelombang berikutnya yang seperti dibahas sebelumnya. Pertarungan menhadapi Covid19 ini adalah pertarungan jangka panjang. Jangan sampai kita habiskan semua energi kita diawal untuk hal-hal yang sifatnya lebih ke jangka pendek.

Kemungkinan terburuk; Pertarungan Jangka Panjang

Dalam pertarungan jangka panjan tidak hanya persiapan bagaimana mengatasi wabah penyakitnya saja. Tapi bagaimana memenuhi kebutuhan seluruh warga, baik yang sakit maupun yang sehat. Artinya perlu juga dipikirkan bagaimana semua kebutuhan hidup tetap bisa dipenuhi.

Akhir-akhir ini banyak yang menuduh pemerintah takut melakukan Lockdown karena takut dampak ekonomi. Sehingga mereka secara histeris meminta pemerintah untuk segera melakukan lockdown secara nasional. Ekonomi bisa bangkit kembali tapi orang mati tidak bisa, begitu rata-rata seruannya.

Mungkin sebagian kita banyak yang langsung mengasosiasikan kalau dampak ekonomi yang dimaksud ini adalah dampak moneter seperti nilai tukar, indeks saham dan lain sebagainya yang hanya identik ke orang-orang kaya saja. Padahal ekonomi disini adalah dalam konteks penyediaan kebutuhan pokok kita.

Seperti yang ditunjukkan oleh data-data pandemi yang pernah dihadapi sebelumnya, wabah seperti ini biasanya akan datang dalam beberapa gelombang. Artinya kita perlu memikirkan bagaimana produksi kebutuhan tersebut berikut rantai pasoknya tetap terjaga. Tidak satu negarapun diseluruh dunia yang bisa bertahan dengan melakukan lockdown total dalam jangka waktu yang panjang.

Melihat tidak adanya negara yang bisa menjadi pemimpin untuk mengatasi pandemi ini secara bersama-sama, maka bisa ditebak kalau setiap negara akan memikirkan nasib masing-masing. Hal ini bisa kita lihat dari Vietnam yang sudah menghentikan export berasnya untuk menghadapi kemungkinan terburuk dari Pandemi Covid19 ini. Tentu saja ini dikhawatirkan akan diikuti oleh beberapa negara-negara penghasil pangan  lainya seperti Thailand. Ini baru dari sisi beras saja, sementara manusia tidak hanya butuh karbohidrat saja, kita juga butuh protein dan mineral lainnya.

Melihat kondisi seperti ini, Indonesia perlu memikirkan strategi untuk tetap bisa menyediakan kebutuhan pangannya dan menekan laju penularan dengan containment pada saat yang sama. Sulit membayangkan ini bisa dilakukan dengan lockdown total seperti permintaan banyak orang akhir-akhir ini. Bantuan langsung tunai (BLT) seperti yang diusulkan oleh  banyak orang jadi tidak ada artinya ketika mereka tidak bisa membeli kebutuhan pokoknya, karena produk tersebut menjadi langka.

Kesimpulan

Secara ringkas catatan penting yang perlu kita pikirkan dalam menghadapi pandemi Covid19 ini adalah sebagai berikut:

  • Containment baik itu dengan lockdown maupun dengan testing masal hanya akan melandaikan kurvanya. Tetapi tidak mengurangi jumlah yang terdampak.
  • Kita perlu bijaksana dalam alokasi anggaran, ada baiknya sebagian besar anggaran tersebut dialokasikan untuk penanganan yang sifatnya lebih permanen seperti fokus pada pengadaan ventilators.
  • Perlu kehati-hatian dalam melakukan lockdown, belajar dari beberapa negara yang melakukannya, lockdown ini tidak mudah dilakukan di negara-negara demokratis. Untuk Indonesia masalahnya bertambah besar karena bentuk negara kepulauan yang membuat distribusi apapun tidak mudah disini.
  • Persiapan kalau ini akan kita hadapi dalam jangka panjang. Seperti bagaimana menjaga produksi kebutuhan pokok berikut rantai pasok nya.

Tapi ya seperti ditulis diawal artikel ini, tulisan ini adalah tulisan seseorang yang tidak memiliki latar belakang virology, epidemiology ataupun medical. Ini bukan usulan, ini hanya catatan seseorang yang terjebak dalam karantina mandiri anak Indonesia di negeri orang, seperti kebanyakan manusia lainnya diberbagai belahan dunia.

https://medium.com/@tomaspueyo/coronavirus-the-hammer-and-the-dance-be9337092b56

1 Comment

  1. Tulisan anda disini bergaya sok intelek dan sok tahu, sorry anda bukan petugas medis juga bukan doctor, pandangan anda terhadap yang lebih mementingkan pengadaan ventilator luar biasa keliru.( terlalu keliru )

    Doctor di Indonesia itu terbatas hanya di angka 80.000 jika tidak dengan cepat mengetahui mana pasien yang positif atau tidak, otomatis setiap hari dokter yang tidak diperlengkapi dengan APD yang benar akan terpapar sooner or later. ( siapa yang bisa operate kan venti kalau bukan doctor/nurse? tukang becak bisa? atau orang selevel anda bisa? ) jangan keliru membuat asumsi bung, studi literatur saja tidak cukup ( tepok jidat )

    Penumpukan pasien rumah sakit itu masalah besar, anda mau mengorbankan banyak nyawa melayang karena ini?? penumpukan pra – pasca, bagaimana orang akan dipulangkan dari hospital sedang status nya tidak diketahui sudah negatif atau masih positif ( seringkali statusnya belum diketahui pasien sudah plus duluan ) kalau dipulangkan dengan unknown status pikir saja sendiri, paham?

    Hospital terbaik dunia itu ada di europe, tapi kenapa collapse? karena definitely sistem kesehatan mereka tidak bisa deteksi dengan cepat akurat 100% siapa yang positive atau negative. South Korea cfr 1% ( terkecil di dunia ) bisa turunkan tingkat infeksi, bukan berarti tidak siap dengan second wave dan third wave. Indonesia juga bisa, tanpa perlu lockdown perekonomian bahkan bisa di up ratusan persen dengan mendiskonsentrasi komposisi perputaran nilai ekonomi di Jakarta.

    Bung, yang pakai venti itu yang peluang hidup nya kecil, akhirnya doctors akan bingung memilih bak hompimpa siapa yang berhak hidup atau mati.

    Saran saya untuk anda, tolong jika anda tidak memahami pola real dan adjustment nyata menangani pandemic jangan berpendapat hanya dengan asumsi anda, ilmu anda mengenai epidmiologi kedokteran sangat dangkal, kami di sini bekerja di garis depan hadapi odp – pdp bukan berarti kami dungu dan tidak mampu memetakan cara penanganan yang tepat. Tapi kebijakan sistem kesehatan yang tidak tepat dalam garis komando membuat tingkat kematian semakin tinggi.

    Tulisan anda seolah mendiskreditkan profesi tenaga kesehatan, yang seharusnya anda pikirkan untuk semakin kuat, kami beritahu anda, kami tidak butuh ventilator dalam jumlah 100x atau 1000x atau sesuai perhitungan awam anda ( terlalu awam ) untuk menghadapi pandemic ( prinsip doctor dalam mengobati adalah mencegah daripada mengobati ), tidak akan ada 1 profesor kedokteran pun yang akan membenarkan pendapat anda bung.

    Ralat segera tulisan anda, para professor kedokteran tengah dan sedang membaca tulisan anda yang keliru ini.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s