Menantang Reklamasi Jakarta

Reklamasi Jakarta selalu menjadi bahan perdebatan akhir-akhir ini. Perdebatan mengenai kebijakan yang memberikan ijin kepada para pengembang untuk membangun pulau-pulau buatan di pantai utara Jakarta ini berkembang dari masalah lingkungan, hukum dan juga masalah teknis. Sebenarnya tulisan ini tidak memiliki maksud apapun dibalik perseteruan pihak yang menantang dan mendukung reklamasi Pantai Utara Jakarta. Tulisan ini lebih karena banyak bertanya mengenai bagaimana jika reklamasi Jakarta ini memang harus dibatalkan? Apa saja konsekuensinya?

Seperti yang sama-sama kita ketahui, reklamasi teluk Jakarta sebenarnya sudah cukup lama dicanangkan dan telah menjadi kebijakan pemerintah melalui Keppres Nomor 52 Tahun 1995. Kepres ini dikeluarkan oleh Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995 tentang reklamasi Pantai Utara Jakarta. Kemudian pada era Presiden SBY, Kepres ini diperkuat melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2008 yang berisi aturan tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.

Salah satu alasan utama pengembangan wilayah Jakarta ke arah laut ini adalah masalah kebutuhan lahan. Dalam perkembangannya, Ibu Kota Republik ini membutuhkan lahan untuk pemukiman karena peningkatan jumlah penduduk Jakarta. Ketika Kepres 52 tahun 1995 dikeluarkan memang belum ada realisasi rencana reklamasi di utara Jakarta ini. Hal ini disebabkan investasi untuk membangun pulau buatan di utara Jakarta tersebut tidak feasible (layak) dari sisi investasi. Sehingga tidak ada investor yang tertarik untuk berinvestasi disana. Kemudian seperti yang sudah tercatat dalam sejarah, pemerintahan Soeharto jatuh tiga tahun setelahnya. Namun kepres ini tidak pernah dicabut bahkan diperkuat oleh Perpres Nomor 54 Tahun 2008. Kebetulan pada masa ini harga tanah di DKI melambung tinggi sehingga membuat investasi pengembangan pulau-pulau buatan di Jakarta tersebut menjadi layak seceara keekonomian.

Salah satu alasan lain adalah banjir di Jakarta yang semakin parah waktu itu. Penyebab kenaikan intensitas banjir Jakarta diyakini karena daerah Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur) sudah beralih fungsi menjadi daerah hunian (villa) sehingga mengurangi daerah resapan air. Sementara itu, tidak mudah bagi Pemprov Jakarta mengendalikan pembangunan didaerah tersebut. Karena kawasan Bopunjur berada di wilayah Provinsi Jawa Barat. Disisi lainnya, para pembeli vila dikawasan Bopunjur adalah orang Jakarta. Dengan demikian, Reklamasi pantai utara jakarta diharapkan dapat mengendalikan alih fungsi kawasan yang merupakan daerah resapan air tersebut. Reklamasi diharapkan dapat mengubah kecenderungan orang Jakarta yang membeli property di dataran tinggi disekitar wilayah Jakarta, menjadi membeli property di pulau-pulau buatan.

Dari sisi teknis, perencanaan reklamasi utara Jakarta ini sudah dikaji pada era Gubernur Sutiyoso yang dikenal sebagai program “Greater Jakarta”. Kajian teknis ini dilakukan dari berbagai bidang, dari analisa terhadap dampak lingkungan, analisa dampak reklamasi terhadap overland flow di daerah hulu, analisa dampak yang akan timbul di daerah coastal dan masalah lain terkait utilitas yang sudah ada dikawasan pantai tersebut.

Harus diakui, secara teknis Reklamasi Jakarta ini akan menimbulkan dampak, baik itu terhadap daerah hulu atau biasa juga disebut sebagai upland area maupun daerah perairan pantai atau coastal-nya. Salah satunya adalah masalah kenaikan muka air banjir dikawasan hulu. hasil

Gambar berikut adalah hasil smulasi secara numerik dengan menggunakan metode Finite Element Method (FEM) untuk masalah upland di daerah sungai Kali Dadap, Cengkareng Drain dan Kali Angke. Simulasi ini dilakukan untuk curah hujan ekstrim, dimana kemungkinan curah hujan penyebab banjir atau yang dikenal sebagai probable maximum precipitation (PMP) untuk periode ulang 50 tahunan. Dari hasil simulasi ini dapat dilihat banjir di utara Jakarta tidak banyak berbeda antara sebelum dan sesudah dilaksanakan reklamasi. Namun, jika ditinjau terhadap kenaikan muka air banjir didaerah upland maka kita akan menemukan kenaikan muka air banjir. Tetapi kenaikannya hanya sekitar 7-12 cm. Angka ini juga tidak terlalu besar sehingga kondisi daerah genangan banjir juga tidak berubah. Simulasi yang sama juga sudah dilaksanakan pada lokasi-lokasi lain hasilnya juga menunjukkan hal yang sama. Kenaikan muka air banjir relatif kecil.

Selain itu, ada atau tidaknya reklamasi di Jakarta, tentu saja masalah banjir merupakan masalah yang tetap harus ditanggulangi. Salah satu solusinya adalah dengan pengerukan dan pelebaran penampang hidrolis sungai-sungai yang ada di Jakarta. Hasil simulasi dibawah ini menunjukkan kondisi muka air banjir di Jakarta jika dilakukan pelebaran dan pendalaman sungai. Dapat dilihat banjir di Jakarta berkurang drastis hanya dengan memperdalam dan sedikit memperlebar penampang sungai.

pengerukan

Hal lain yang dikhawatirkan masalah permasalahan didaerah coastal. Seperti permasalahan backwater atau peningkatan muka air banjir pada daerah estuary akibat muara sungai menjadi lebih jauh ke laut setelah dilakukan reklamasi dan juga masalah sedimentasi didaerah muara yang dikhawatirkan akan menghambat jalan air menuju kelaut.

Pada tahapan awal, sebuah kajian teknis reklamasi 17 pulau di utara Jakarta ini dilakukan oleh team akademisi yang diketuai oleh Prof. Dr. Hang Tuah (alm), seorang guru besar di program studi Teknik Kelautan-ITB. Kajian tersebut merekomendasikan agar reklamasi dibangun tidak menempel pada daeratan atau diberikan jarak minimal 200 m (atau dikenal sebagai lateral canal dalam istilah teknis) untuk mempertahankan sifat coastal dan menghindari peningkatan back water pada daerah muara. Berdasarkan studi tersebut, masalah backwater dapat diatasi dengan lateral canal ini. Sehingga sekarang kita dapat melihat pulau-pulau reklamasi tersebut memiliki jarak dengan daratan utama Jakarta.

Singkatnya, berdasarkan kajian teknis, bentuk dan konfigurasi yang ada saat ini sudah ideal untuk menghindari permasalah teknis. Selain itu, langkah-langkah penanggulangan untuk dampak negatif yang tidak dapat dihindari juga sudah dikaji secara mendalam dan komprehensif. Artinya, penanggulangan tidak saja hanya pada dampak akibat pembangunan pulau-pulau reklamasi tersebut, namun permasalahan yang memang sudah ada di Jakarta seperti masalah banjir yang sudah menjadi langganan DKI Jakarta. Hal ini lah yang membuat reklamasi Jakarta menjadi tambah menarik. Karena dengan Reklamasi, tidak hanya karena berhasil menarik minat investasi namun bisa diintergrasikan dengan pola kontribusi untuk mendukung rencana pemerintah dalam penanggulangan masalah banjir yang sudah menghantui Jakarta sejak lama dan juga untuk pembangunan infrastruktur lain seperti rusun dan infrastruktur jalan. Jadi sekali tepuk pemerintah dapat dua hal, investasi yang berarti devisa bagi negara dan juga kontribusi langsung berupa infrastruktur untuk mengatasi masalah banjir dan lain sebagainya.

Lalu apakah rencana reklamasi sudah tidak ada dampak negatif sama sekali? Tentu saja ada. Dampak selalu akan ada ketika manusia melakukan kegiatan, terutama bagi lingkungan. Pembangunan Jalan, Jembatan, Pelabuhan bahkan pemukiman akan menimbulkan dampak bagi Lingkungan. Lalu apakah kita perlu berhenti membangun infrastruktur tersebut? Tentu saja tidak. Maka yang perlu dipertimbangkan adalah, seberapa besar dampak negatif dibandingkan dengan manfaat yang dihasilkan.

Sementara jika kita tinjau, menentang Reklamasi juga memiliki dampak. Mari kita berandai-andai Reklamasi Jakarta ini dihentikan. Kemungkinan paling ekstrim adalah seluruh ijin pulau dicabut dan pulau yang sudah dibangun harus dibongkar. Oke.. pertanyaannya adalah siapakah yang akan mendanai biaya pembongkarannya? Membongkar sebuah bangunan saja membutuhkan dana yang tidak sedikit apa lagi membongkar sebuah pulau. Pengembang pasti tidak mungkin akan mau mengeluarkan dana untuk itu. Bisa kita bayangkan kerugian yang harus mereka tanggung ketika semua ijin pulau-pulau yang sudah terbangun dicabut dan harus dibongkar. Ditambah jika harus dipaksa untuk mengeluarkan dana untuk membongkar pulau. Logisnya, mereka pasti akan memilih untuk menempuh jalur hukum dan bertarung di pengadilan. Secara nalar, kemungkinan pemerintah kalah dipengadilan besar. Selain itu, metode seperti apa yang akan diterapkan sehingga pembongkaran dapat dilakukan dengan tidak merusak lingkungan? Tanah yang sudah mengalami pemadatan tentunya tidak mudah untuk digali kembali menjadi lautan, pilihannya adalah dengan menggunakan peledak (blasting). Tentu saja ini akan jauh lebih membahayakan lingkungan.

Pilihan lainnya adalah, mencabut ijin-ijin pulau yang belum terbangun dan mengambil alih pulau-pulau yang sudah terbangun. Oke..mari berandai-andai opsi ini yang diambil. Semua pengembang pulau-pulau reklamasi yang sudah mengantongi ijin tentunya juga sudah mengeluarkan dana yang juga tidak sedikit. Minimal untuk melakukan studi amdal dan kajian teknis untuk mendapatkan ijin dari pemprov DKI. Studi atau kajian pengembangan pulau tersebut tentu saja tidak murah. Perbandingannya adalah biaya studi perencanaan dan perancangan atau desain gedung high risk saja membutuhkan biaya sampai milyaran Rupiah. Dana yang harus dikeluarkan untuk membiayai kajian pengembangan pulau buatan ini bisa mencapai Triliunan Rupiah karena melibatkan survey di laut yang sangat mahal. Tentu saja mereka akan menuntut ganti rugi atas kerugian yang mereka alami. Sementara, mereka sebelumnya sudah mengikuti prosedur untuk mendapatkan ijin untuk membangun pulau-pulau tersebut.

Analoginya, jika kita membangun rumah tempat tinggal kita dan kita telah mendapatkan IMB . Kemudian kita juga sudah membayar arsitek untuk desain rumah kita. Kemudian karena pejabat yang mengeluarkan  ijin tersebut berubah pikiran, IMB yang sudah kita dapatkan dicabut. Apapun alasan pencabutan IMB tersebut, tentu saja kita tidak akan mudah untuk dapat menerimanya begitu saja. Hal yang sama tentunya yang akan dilakukan oleh para pengembang. Mereka akan melakukan perlawanan hukum terhadap pemerintah atas kerugian yang mereka alami. Kalau pemerintah kalah, artinya pemerintah wajib membayarkan kerugian para pengembang tersebut. Maka masyarakat Jakarta juga yang akan membayarkannya melalui pajak yang mereka bayar. Selain itu, pemerintah provinsi juga kehilangan dana yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk program-program yang membangun infrastruktur yang menggerakkan roda perkonomian.

Jikapun pemerintah menang, apalagi di Indonesia sepertinya hukum mengikuti selera pasar. Jika tekanan publik besar maka bisa saja pemerintah dimenangkan, meskipun jelas-jelas kesalahan ada dipihak pemerintah. Para pengembang pasti akan naik ke arbitrase internasional, terutama bagi pengembang yang berafiliasi dengan perusahaan asing. Selain itu, pencabutan ijin tentunya juga akan berdampak naiknya country risk negara ini. Hal ini tentu saja akan jadi ancaman bagi minat investasi karena tidak adanya kepastian hukum bagi mereka. Investasi menurun artinya lapangan pekerjaan juga akan menurun. Kembali masyarakat kecil yang akan terkena dampaknya. Hal ini yang menyebabkan mencabut sebuah Perpres atau Kepres tidaklah mudah.

Menentang dan menantang pencabutan ijin dan menghentikan Reklamasi Jakarta karena ini memiliki dampak negatif silahkan saja. Namun tentu saja perlu dijawab siapa yang akan membayarnya? Siapa yang paling dirugikan pada akhirnya? Tentunya masalahnya semakin rumit mengingat ijin reklamasi ini sudah dikeluarkan jauh sebelum masa pemerintahan sekarang.

 

4 Comments

Leave a comment