Mencoba Memahami Tuhan…

Memikirkan bagaimana manusia bisa menghakimi keyakinan orang lain berdasarkan apa yang diyakininya membuat saya jadi merenung…Sebenarnya apa yang salah sih dalam sebuah kepercayaan, sehingga membuat penganutnya menjadi merasa sebagai pemilik kebenaran itu sendiri

Hal ini yang mungkin saja mengarahkan cara berfikir kita sebagai para penganut agama untuk membuat orang mau mempercayainya dengan “memaksa” mereka percaya berdasarkan hanya cara pandang kita saja. Padahal lebih dari 90% dari kita menganut suatu agama adalah karena kita kebetulan dilahirkan orang tua yang menganut agama yang kita anut saat ini. Tidak ada satu diantara kita pernah bertemu dengan Tuhan yang kita yakini itu. Lalu darimana kita bisa memastikan bahwa agama kita tersebut adalah agama yang paling benar?

Sebagai muslim saya meyakini bahwa agama islam adalah agama yang benar, walaupun banyak pertanyaan yang mengikuti “iman” saya ini. Tetapi kepercayaan saya ini seperti halnya kepercayaan yang lain ternyata tidak memberi banyak tempat untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut. Para Ulama sering menekankan bahayanya jika terlalu banyak berpikir untuk urusan Iman in. Karena menurut mereka Agama harus diyakini dengan Iman jangan terlalu menggunakan Rasionalitas. Uniknya hal ini juga saya temukan pada banyak kepercayaan-keparcayaan lainya.

Pemikiran saya tetap saja berontak..tetap saja Rasio ini mau bersusah payah memikirkan mengenai iman dan Tuhan itu sendiri..

Sekelumit Pemikiran…..

Meyakini Tuhan itu adalah Maha Kuasa ternyata tidak semudah mengucapkanya…Ephicurus menyampaikan discursus pernyataan yang cukup mengganggu perasaan keimanan yang harusnya given ini

“Is [God] willing to prevent evil, but not able? then is he impotent. Is he able, but not willing? then is he malevolent. Is he both able and willing?”

Memikirkan ini saya akhirnya melihat ada dua sisi yang terbentuk secara diametral dalam proses meyakini Tuhan. Mungkin kita akan bermuara pada pemikiran bahwa Tuhan itu tidak ada, melainkan adalah ciptaan manusia belaka. Seperti yang dikemukakan oleh para Ahli Sosiologi, agama berawal dari kekaguman manusia terhadap fenomena-fenomena alam yang tidak dapat ditemui jawaban terhadap fenomena tersebut. Ketika manusia melihat petir, ia akan memuja petir tersebut, kemudian dibuatlah tokoh-tokoh yang mengendalikan fenomena-fenomena tersebut..kemudian seiring dengan waktu, pemikiran manusia semakin maju sehingga ide monoteis pun mulai bermunculan..walaupun thesis ini pun akan mengantarkan kita pada banyak pertanyaan-pertanyaan lainya.

Atau ide lainnya, dan saya lebih menyukai sisi yang ini…ide lain tersebut meyakini bahwa Tuhan itu bekerjan pada setiap bangsa, pada setiap budaya.. Bahkan Tuhan sudah diperkenalkan pada manusia-manusia primitive dengan cara yang berbeda.. Jadi setiap agama berasal dari Tuhan yang esa, dari pemilik kebenaran yang hakiki. Baik itu Muslim, Kristen, Budha, Hindu, Zoroaster, Konghuchu, bahkan Agama Dewi Gaea yang dipercaya oleh orang Indian di Amerika-pun adalah berasal dari Tuhan yang sama. Kalau kita coba renungkan, tidak ada satupun agama yang mengajarkan kita pada keburukan, setiap agama mengajarkan penganutnya untuk berbuat baik. Semua agama melarang manusia utk membunuh, mencuri, merampok, berbohong, berzina dan lain-lainnya. Kalo mau pinjam kata-katanya Paolo Freire, agama itu memanusiakan manusia. Menuntun manusia menjalani hidup dengan lebih baik. Jadi terlalu egois ketika ada satu agama mengatakan dia satu-satu nya agama yang paling benar dimuka bumi sedangkan yang lain adalah salah. Atau kasarnya nih, mengatakan hanya agamanyalah yang merupakan agama dari Tuhan dan yang lainya adalah perbuatan jahil setan. Kalau kita pikirkan, jika agama-agama lain adalah agama buatan setan, maka apa mungkin setan mengajarkan manusia untuk berbuat baik. Dalam Alkitab (bible) juga didalam Alquran dikatakan setiap ajaran yang benar akan dipelihara oleh Allah dan dikatakan setiap ajaran-ajaran Nabi palsu akan dipatahkan. Jadi disini dapat dilihat suatu ajaran yang benar akan bertahan meskipun manusia berusaha menghancurkannya. Atau dengan kata lain, ada campur tangan wujud yang sama dalam menjaga ajaran-ajaran yang dapat menjadikan setiap manusia menjadi pribadi yang lebih baik. Saya percaya, bahwa hanya ada satu Tuhan yang mengatur setiap segmen kehidupan dan setiap proses yang terjadi di alam semesta kita ini. Bagaimanapun kita menyebutnya, Tuhan, Allah, Bapa, Yahweh, Jehovah, Dewa, God, Is’ana, Shio Devta, Rabb..pada inti-nya itu merupakan wujud yang sama, nama tersebut lebih diakibatkan perbedaan dialek manusia, toh seperti yang kita tau, bahkan nama nabi-nabi pun memiliki cara-cara penyebutan yang berbeda-beda, misalnya Yahya, Yohannes, Yohannan, John atau Musa, Moses dan banyak lagi contoh-contoh lainnya, tapi maksudnya adalah orang yang sama.

Kalau tidak demikian, maka pertanyaan terbesarnya adalah: “Siapa yang bertanggung jawab terhadap timbulnya berbagai macam kekacauan dibumi ini pada sepanjang masa peradaban manusia yang diakibatkan peperangan yang mengatas-namakan agama?” Saya jadi ingat kata2nya A.N Wilson yang mengatakan “Agama adalah tragedi terbesar umat manusia, ia mengajarkan kita pada keluhuran yang paling tinggi, namun tidak ada satupun agama yang tidak bertanggung jawab terhadap peperangan yang terjadi pada manusia, karena atas nama agama manusia mau membunuh, manusia rela melakukan apa saja untuk sesuatu yang lebih besar, lebih luhur dan lebih tinggi darinya”. Atau, memang benar seperti yang dibilang sama Sigmund Freud, kalau agama hanyalah buatan manusia. Yang dibuat karena manusia butuh pegangan yang mengatur kehidupannya??

3 Comments

  1. Ah, deisme? 😛

    Saya pernah menganut pemikiran yang persis seperti ini sampai sekitar setahun lalu. Tuhan yang magis, transeden, misterius, serta elusif. 🙂 Mekanisme ketuhanan yang seperti ini adalah yang paling kokoh dari segala konsepsi Tuhan yang ada— ia bisa lolos dari semua argumen anti-Tuhan yang ada. Satu-satunya yang bisa membuat seseorang menolaknya adalah pisau Ockham, yang sebenarnya juga bukan mekanisme untuk men-disprove, melainkan permainan probabilitas. 😛

    Sebagai peragu, apabila pemikiran saya yang berputar-putar dan tidak diam di satu keputusan ini sedang berada di sekitar orbit teistik, saya selalu ingat dengan pemahaman omni-deistik ini. Saya cenderung mengukur dengak probabilitas (mas Gentole tidak suka cara saya ini 😆 ), dan deisme semacam ini bisa dikatakan sangat tinggi probabilitasnya. 😛

    Semoga makin banyak orang berpemikiran lapang seperti Anda. 😀

    Salam. 🙂

  2. *msd gentole : thanks mas
    *K. geddoe : saya hanya bertanya, klo saya tidak dilahirkan dari keluarga muslim, akan kah saya jadi seorang muslim?pada kenyataannya, kepercayaan yang diikuti oleh kebanyakan kita adalah kepercayaan orang tua, jadi kepercayaan dalam hal ini tidak lebih dari gambling terbesar dalam hidup kita mas..

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s