Kesetaraan Gender / Bias Gender ?

Isu gender, bagi kaum feminist ini adalah perjuangan panjang bahkan di era modern seperti sekarang. Sangat sering isu ini bersinggungan dengan isu teologis.  Sejarah mencatat, bahkan didaratan Eropa dimana saat ini ide kesataraan dalam banyak hal mendapat tempat yang baik, pada awal masa renaissance pembunuhan 5 juta wanita terjadi atau sekitar 12,545 yang tercatat dalam literatur-literatur sejarah dihukum mati melalui persidangan yang di formalkan oleh Pope John XXII pada tahun 1320. Hukuman mati tersebut rata-rata hanya karena tuduhan sebagai seorang Tukang Sihir. Dalam beberapa tulisan, Michael Baigant dan Novel Dan Brown dikatakan Wanita-wanita yang dibunuh tersebut adalah mereka-mereka yang memilki pengetahuan dlm bidang kedokteran, kimia dan lain-lain.  Secara teologis dalam perjanjian lama dikatakan bahwa wanita menanggung dosa warisan yang lebih besar dari pada kaum pria, karena Hawa yang membujuk Adam untuk memakan buah terlarang sehingga Adam dan Hawa terusir dari Surga.

Islam adalah agama yang paling sering diidentikkan sebagai agama yang paling tidak menghargai kaum wanita dalam hal ini. Ini juga didukung dalam tradisinya, kaum muslimin menempatkan kaum wanita dalam posisi yang begitu memprihatinkan. Dan selalu berlindung dibalik alasan teologis yang menyatakan bahwa kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum wanita, yang dalam prakteknya lebih di implementasikan sebagai kaum lelaki merupakan penguasa bagi kaum wanita. Namun sebagai orang yang percaya terhadap ajaran Islam, maka disini saya mencoba mengesambingkan pemahaman bagi mengenai peran wanita dan pria dalam terminologi baku yang merupakan interpretasi para ulama di abad pertengahan, yang kita kenal sebagai tafsir baku yang harus dipercayai secara dogmatis.

Saya percaya Alquran  memiliki banyak makna dalam setiap rangkaian kata-katanya. Manusia tidak akan hentinya akan menemukan rahasia-rahasia yang tersebunyi dibalik kalimat-kalimat yang termaktub didalam kitab suci ini. Maka dalam kaitan ini saya mempercayai Alquran merupakan kitab yang multi tafsir.  sebagai mana Sayyidina Ali ra mengatakan kepada kaum khawarij : “Aquran adalah kitab yang telah sempurna, Namun Alguran  meletakkan maknanya di pundak pembacanya”. Maka dalam hal ini setiap orang yang dengan sungguh2 dan mencintai kebenaran akan menemukan makrifat-makrifat kebenaran dalam tiap kata-katanya.

Kembali dalam terminologi Islam mengenai gender ini, jika kita lihat  Alquran dalam Surah Annisa : 34 atau ayat 35 kalau Basmalah dihitung sebagai 1 ayat الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء (Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita), dalam hal ini pernyataan kata2 قَوَّامُونَ (kawwamuuna) disini apakah berarti pemimpin atau pelindung. karena kedua arti tersebut bisa digunakan, kemudian berikutnya dalam ayat yg sama juga disampaikan, “oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)”, jika kita melihat hal ini dalam konteks kaum laki2 merupakan pelindung bagi kaum wanita, maka kelebihan disini adalah kelebihan alamiah yg dimiliki oleh kaum laki2. sehingga dengan demikian dalam gender terdapat pembagian peran. Demikian juga halnya dalam mengurus rumah tangga, karena kelebihan yang dimiliki oleh kaum wanita, menjadi peran ibu juga dalam mengurus anak, tentu saja dalam konteks keluarga tersebut masih lengkap. Karena kaum wanita di bekali hati dengan kasih sayang yg jauh lebih besar dari kaum laki-laki. Sama halnya laki-laki di ciptakan dengan tenaga yang lebih besar dari kaum wanita sehingga menjadi perannya sebagai pelindung kaum wanita.

Terlepas dari perdebatan teologis mengenai permasalahan Gender dalam agama manapun ternyata isu gender ini memilki implikasi lain dalam pola kehidupan manusia saat ini. Keterbukaan pemikiran manusia era modern menjadikan kesepahaman dalam banyak hal untuk kesetaraan gender ini. Namun dilihat dari dampak lainnya, permasalahan pun muncul disini. Di negara-negara maju banyak wanita yg menolak utk mengurus anak pd hal -hal tertentu bahkan menolak memilki anak dengan alasan akan mengekang kebebasan meraka, karir mereka ataupun masa depan mereka. Akhirnya gambaran pernikahan bagi kaum wanita dinegara-negara maju lebih seperti penjara seumur hidup, yang membuat mereka harus membuang jauh-jauh impian mereka untuk berkarir atau meraih suatu cita-cita dalam kehidupan pernikahannya (mariage life). Makanya tidak jarang para Ibu-ibu muda di negara-negara maju meninggalkan bayinya begitu saja. Tuhan menciptakan manusia sama di hadapan-Nya. Pengertian ini memang memiliki persepektif yang berbeda2 dalam benak setiap orang. Namun dalam permasalahan keluarga dan anak ada hal-hal lain yang harus dilihat dengan bijaksana. Pada kenyataanya secara psikologis seorang Ibu dianugrahi kemampuan utk lebih memahami anak2 mereka dibanding seorang ayah. Dalam hal ini peran seorang Ibu menjadi begitu vital dalam perkembangan seorang anak yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh figur seirang ayah. Maka dalam suatu keluarga peran Ibu dalam Perkembangan dan pendidikan seorang anak menjadi sangat penting.

Tentu saja Permasalahan Isu Gender ini tidak hanya terbatas di permasalahan ini saja. Namun yang perlu diwaspadai,  adalah ketika isu gender mulai bergeser sehingga lebih menjadi suatu persaingan gender untuk mendominasi gender yang lain. Sehingga tidak mengherankan ide kesetaraan gender malah mengancam kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh kaum wanita sendiri. Sehingga akhirnya lebih tepat dikatakan sebagai bias gender ketimbang kesetaraan gender.

6 Comments

  1. Menurutku peran kaum sekarang memang sudah terlalu besar buat dunia modern. Coba lihat aja, banyak perempuan-perempuan yang mencalonkan jadi peminpin. Padahal wanita itu sering mengandalkan emosi atau perasaan. Harusnya Hukum Islam dijunjung tinggi!

  2. “…seseorang berlindung dibalik alasan teologis…” Ini bukan berarti kaum feminist mempersalahkan agama, namun yang paling tepat adalah penafsiran atas agama tersebut, jadi disini manusia yang berperan aktif dalam proses penafsiran itu. Penafsiran secara sepihak dan pembenaran atas beberapa oknum inilah yang menjadikan belenggu dan kesalahpahaman atas posisi kaum perempuan.
    Kesetaraan gender itu kontekstual, ketika kaum perempuan di era ini menginginkan dirinya untuk berkarya di ranah publik, maka itulah eksistensinya. Walaupun banyak sekali perempuan yang melakoni 2 tahap (shift) pekerjaan, sepulang dari kantor harus mengurus pekerjaan. Begitu beratnya, namun mereka merasa ini adalah kesenangan dan pengabdiannya, bukan belenggunya. Padahal peran ganda ini merupakan satu contoh bentuk budaya patriarki modern yang tidak akan begitu saja melepaskan perempuan dari tugas domestiknya yaitu di dapur. Peran ibu, sebagai pengurus rumah tangga dan anak, bukan sebuah kelebihan khusus karena kodrat, namun itu bentuk sosialisasi gender oleh masyarakat yang diperuntukkan bagi perempuan. “Kodrat” bahkan perlu dipertanyakan kembali, kodrat menurut siapa? Apakah menurut masyarakat? Atau bahkan “kodrat” itu sebenarnya pernah ada?
    Begitu rela-nya perempuan membagi waktu antara bekerja dan mengurus suami plus anak-anaknya sepulang kerja tanpa mengeluh. Sebuah standar ganda yang harus diterima karena dibebankan oleh masyarakat bahkan tidak pernah disadarinya. Tapi ironis, seorang Ibu bekerja dituduh tidak bertanggung jawab atas keluarganya, padahal dengan tuntutan beban hidup yang semakin berat, perempuan mampu menjadi tulang punggung bagi keluarganya, dan faktanya fenomena ini meluas dalam kehidupan perempuan Indonesia
    Manusia memang sama di mata Tuhan, tapi aturan masyarakat memperlihatkan fakta lain. Kesetaraan gender bukan ditujukan untuk mendegradasi kelebihan perempuan namun justru itulah bentuk syukur karena kami diciptakan sebagai perempuan.
    Apakah kemudian kalau saya katakan, bahwa Ayah saya mencuci piring makan malamnya dengan tangannya sendiri, maka berarti Ibu saya bukan perempuan yang baik???

    Wallahualam.

  3. Tyas : menjadi pemimpin dalam suatu komunitas sosial bukan permasalahan hak suatu gender. pemahaman saya dalam alquran tidak ad kata-kata yang menyatakan bahwa kaum perempuan tidak berhak menjadi pemimpin. Agama (apapun agama yg mengatur permasalahan gender ini) tidak membangun suatu hierarki hak antara pria dan wanita (baca: mana yang boleh kaum perempuan lakukan dan tidak). di dalam Alquran, kata-kata kawwamuuna bukan berarti bahwa seorang laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, tetapi lebih tepat sebagai pelindung. Maka didalam terminologi agama perempuan dan laki-laki adalah sama dalam hak2nya didlm kehidupan bermasyarakat, termasuk menjadi pemimpin.

    Animusparagnos : Nice Thinkin, permalahannya bukan hak atau previlege suatu gender utk memainkan peran didalam masyarakat, melainkan pembagian peran dalam interaksi dalam suatu keluarga (terutama dalam pengasuhan anak). Dengan kecenderungan kaum perempuan memiliki keterikatan secara emosional dengan seorang anak, maka sudah seharusnya peran seorang ibu juga harus besar terhadap perkembangan seorang anak. Tidak dapat dipungkiri, hal ini tidak bisa di generalisir. tetapi kecenderungan keterikatan seorang anak terhadap ibu jauh lebih besar di banding ke bapak, maka sangat tepat hukum posistif di negara2 sekuler menetapkan anak dibawah usia 12 tahun secara otomatis hak asuh ada ditangan Ibu.
    Seorang Ibu memiliki posisi yg begitu terhormat dalam kedudukan sebagai manusia, bahkan yang mulia Rasulullah SAW mengatakan ibu tiga tingkat di atas bapak bukan? sama halnya dengan penggunaan kata ‘perempuan’ thdp female gender homo sapien, karena perempuan berasal dari kata empu yang artinya ibu. kembali ke pokok bahasan, makanya bukan kultur pemikiran maju jika seorang perempuan menyatakan keberatan dalam haknya utk mengasuh anak atau memiliki anak dengan alasan akan menghambat karier nya lah, ga mau punya anak karena takut badanya jadi jelek lah..atau alasan lain yang bersifat self centered.

  4. Keterikatan Ibu dan anak, itu saya yakini ada secara psikologis dan emosi. Pengalaman menanti peran menjadi Ibu dan sebagai seorang Ibu merupakan suatu peristiwa penciptaan yang luar biasa, saat seorang manusia tiba-tiba bisa muncul ke permukaan bumi, dan setiap perempuan yang merasakannya akan memiliki pemaknaannya masing-masing sebab ia adalah subjek yang mengalami.
    Namun saya kurang sependapat bila perempuan dibebani dengan konsep motherhood, yang mengacu pada bukan saja pengalaman melahirkan saja, tetapi juga memegang kendali penuh atas tumbuh kembang anak dan tugas rumah tangga, ini tidak ada bedanya dengan konsep patriarkis. Bukan sebuah kesalahan bagi perempuan untuk bersikap egosentris (self centered), bila ia merasa mampu memaknai kehidupannya atas keputusannya ini.
    Perempuan memang memiliki kodrat fisiologis atas tubuhnya, tapi ia tidak mempunyai “kodrat” sosial yang ditentukan oleh masyarakat apakah harus memiliki anak atau tidak, karena perempuan berhak atas tubuh dan rahimnya, bukan konsekuensinya melainkan haknya. Dan alasan untuk tidak mempunyai anak, ini adalah wilayah personal dimana setiap orang tidak berhak untuk mencampuri apalagi menghakimi. Mengenai keberatan untuk mengasuh anak, saya rasa tidak seorang pun perempuan (Ibu) berpikiran seperti itu, jika saja sekarang juga saya menyebarkan kuesioner tentang ini, saya yakin diantara semua kuesioner itu satupun tidak ada yang setuju atas keberatannya mengasuh anak. Yang menjadi pokok sebenarnya adalah metode pengasuhan yang kini beralih dari konservatif ke model yang dianggap mampu menunjang kelangsungan/kesejahteraan keluarga, terutama pada perempuan pekerja yang mobile. Seharusnya yang menjadi masalah yang nyata adalah penerimaan masyarakat atas model pengasuhan modern yang kurang, sebab masyarakat masih menganggap bahwa pengasuhan atau peran konservatif perempuan tetap lebih efektif. Sehingga perempuan bekerja kini menghadapi dilema baru yaitu 2 (dua) pekerjaan sekaligus –keluarga dan kantor– dan saya tidak mengira, ternyata banyak pula yang survive dengan model seperti ini. Lalu dimana laki-laki? Masih merasa tidak etis untuk mengerjakan tugas rumah tangga (dianggap tidak pantas mengerjakan tugas perempuan) atau menjadi baby sitter. Barangkali mengutip judul sebuah buku “Mengapa laki-laki hanya bisa memikirkan satu hal saja?” (dalam hal ini saya tambahkan : hanya ranah publik saja) bisa menjadi jawaban.
    Satu hal lagi, jika penggunaan kata “perempuan” tidak bias gender sebab ia berasal dari kata empu, mengapa tulisan disini menggunakan kata “wanita” untuk menyebut seorang empu?

    Salam kenal & Trims tuk kunjungannya plus perhatiannya atas kesetaraan gender.

  5. *animusprognos: ada kata2 maria schiver yg saya ingat ketika beliau diwawancarai mengenai peran seorang housewive dalam masyarakat, seharusnya kaum perempuan merubah stigma dalam komunitas masyarakat modern yang selama ini di identikkan sebagai sesuatu yang tidak bisa dibanggakan. beliau mengatakan sudah seharusnya ketika seorang ibu rumah tangga ditanya menegani pekerjaannya dia tidak boleh menjawab ; ” i’m just a housewive”. tapi seharusnya kaum perempuan yang beruntung bisa menjadi ibu dan adalah seorang housewive bisa menjawab; “i am a housewive”
    kaum perempuan seharusnya bisa menanamkan dalam diri mereka kalau seorang Ibu rumah tangga adalah suatu pekerjaan mulia, pekerjaan dengan jam kerja 24jam sehari, 7 hari seminggu..pekerjaan yang mungkin saja tidak bisa ditangani oleh seorang laki-laki..yang menyedihkannya, era modern malah membangun stigma dikalangan “wanita” kalau menjadi seorang ibu rumah tangga adalah sesuatu yang tidak bisa dibanggakan..
    padahal cikal bakal suatu masyarakat dimulai dari sebuah keluarga.. seorang anak adalah gambaran dari generasi mendatang dari suatu masyarakat yang lebih besar..seroang ibu memilki peran besar utk membangun suatu masyarakat yang bai dimasa depan, yang dimulai dari pendidikan anak dalam sebuah keluarga.
    Bias gender terjadi jika arah perjuangan kesetaraan gender menjadi usaha untuk membangun dominasi dalam masyarakat. akhirnya persaingan gender adalah persaingan untuk membangun hegemoni gender dalam masyarakat..bukan kah seharusnya keseteraan gender dimaksudkan untuk membangun harmonisasi dalam peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat alih-alih utk mendominasi..

  6. Memang tidak ada habisnya kalau berbicara tentang gender, sebab setiap orang memiliki sudut pandang masing-masing.
    Mengenai stigma tentang perempuan bekerja memang beberapa orang menganggapnya sebagai prestige dibandingkan bekerja “hanya” sebagai ibu rumah tangga.
    Disini saya ingin berbagi sedikit cerita mengenai profil 2 orang perempuan yang sangat berarti dalam hidup saya. Ibu saya, saya pikir beliau lebih memilih memasak di dapur dibandingkan belajar bahasa Inggris atau mengurus administrasi. Berbeda dengan bude saya, seorang lajang dan pekerja, sampai kini pensiun pun sebenarnya ia lebih betah berada di luar rumah daripada harus berkutat dengan wajan dan sapu. Kalau ibu saya lebih suka menonton sinetron atau dangdut, bude saya memfavoritkan berita-berita di TVRI atau Metro TV.
    Walaupun Maria Schiver mengungkapkan perempuan dalam rumah tangga bisa menjadi unsur yang penting dan bisa dibanggakan tetapi bukan berarti pernyataannya dimaknai bahwa semua perempuan diharuskan menjadi Ibu rumah tangga. Sebuah solusi yang egois saya pikir, sebab tidak mungkin peran Ibu saya ditukar dengan peran Bude saya, nantinya bukan keseimbangan psikologis yang didapat tetapi justru konflik peran.
    Apa yang saya sebut kesetaraan gender bukan mewajibkan perempuan untuk menjadi si A, si B, Ibu rumah tangga, atau wanita pekerja. Kesetaraan gender tidak pernah mengarahkan perempuan menjadi figur-figur tertentu seperti itu atau mendorong maskulinisasi perempuan, melainkan memberikan pilihan-pilihan yang telah menjadi hak perempuan, dan tentunya dengan konsekuensi yang harus diterima dan dijalani. Perempuan ingin memiliki dan menggunakan hak pilihnya bukan sebuah persaingan yang mengancam keberadaan kaum laki-laki, terlalu sempit bila ini kemudian dipahami sebagai gerakan mendominasi….
    Jangan lupa bahwa kondisi sosial, ekonomi budaya, turut mempengaruhi pola pikir dan keputusan perempuan. Kebanyakan perempuan bekerja di Indonesia adalah karena tuntutan keadaan. Jangankan berpikir mencari gengsi dengan menjadi wanita pekerja, didalam pikiran mereka hanya tertanam bagaimana agar keluarganya bisa hidup dengan layak dan bahagia.

Leave a reply to animusparagnos Cancel reply